ASSALAMU'ALAIKUM

Senin, 30 Desember 2013

SIKAP PEMIKIR KONTEMPORER TENTANG HADIS DAN IMPLEMENTASINYA (Studi Komparatif atas Pemikiran Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali)

A.     Pendahuluan

Sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi
Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, imitatio Muhammadi menjadi dasar bagi hukum Islam.
Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunnah terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunnah telah menjadi sisi paling penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam wacana keagamaan muslim.
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang bagaimana sikap para pemikir kontemporer menghadapi hadis, terutama pemikir kontemporer tradisional yang diwakili oleh Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali. Tokoh-tokoh ini karena keduanya diindikasikan mempunyai pengaruh yang cukup mengagumkan di kalangan pengakaji hadis akhir-akhir ini.[1]

B.     Hadis dalam Pandangan Muhammad Al-Ghazali

Muhammad Al-Ghazali lahir pada tanggal 22 september 1917 di naqla al-’Inab, al-Bukhaira Mesir. Ia adalah seorang da`i terkenal, penulis produktif (tidak kurang dari empat puluh buku telah ditulisnya), dan mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun, di samping seorang ulama beraliran Salafi. Dua karyanya yang penuh diterbitkan oleh Mizan adalah Keprihatinan Seorang Juru Dakwah(1984) dan Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20 (1989).
1. Sikap Muhammad Al-Ghazali Terhadap Hadis
Pada tahun 1989, syaikh Muhammad Al-Ghazali, menerbitkan sebuah buku dengan judul The Sunna of the Prophet: Between the Legist and the Tradisionist[2]. Buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, Al-Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti hubungan antara Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw. sebagai sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad al-Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun historis.
Posisi Al-Ghazali secara substansial sama dengan posisi yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya tentang sunnah juga tidak ekstrim. Al-Ghazali mengidealkan “penyucian hadis dari noda pemalsuan” dengan memperbaiki ketidakseimbangan dalam bagaimana kritik hadis dipahami secara benar. Al-Ghazali menandaskan bahwa meniru perilaku Nabi saw. merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan ridha Allah.
Menurut Yusuf Qardhawi, munculnya kritik tajam yang ditujukan kepada Muhammad al-Ghazali tersebut disebabkan 2 hal, pertama ia tidak mau menggunakan hadis ahad dalam menetapkan akidah. Menurut Muhammad  al-Ghazali, masalah akidah harus berdasarkan keyakinan bukan dugaan. Hadis-hadis ahad, meskipun sahih tidak memberikan keyakinan dan hanya hadis mutawatir yang mempunyai nilai kepastian. Kedua, penolakan Muhammad  al-Ghazali terhadap beberapa hadis ahad disebabkan bertentangan dengan al-Qur’an, logika ilmu pengetahuan atau fakta historis.
2. Metode Pemahaman Hadis Muhammad  al-Ghazali
Sikap para pemikir kontemporer terhadap sunnah harus dipahami dan dibandingkan dengan melihat bagaimana pola dasar pemikiran para pemikir klasik, menurut ilmu kritik hadis klasik, kesahihan hadis ditentukan oleh tiga kriteria, pertama sejauh mana sebuah riwayat dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang identik dari periwayat lain, kedua, keadilan dan kedhabitan periwayat, ketiga, kesinambungan dengan rantai periwayatan. Hadis seperti ini disebutmutawatir. Adapun mengenai hadis ahad, para ulama klasik mensyaratkan harus melewati lima tahap pengujian.[3] Di antaranya adalah;
  1. Kesinambungan periwayat (ittishal)
  2. Adalah periwayat, yaitu mereka harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar
  3. Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah
  4. Bebas dari syudzudz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
  5. Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Aturan ini merupakan bentuk ringkas dari metode yang digunakan muhaddisununtuk membedakan hadis-hadis autentik. Penerapan sistematis metode ini tampak pada kitab-kitab besar hadis sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.[4]
Namun semua ini berubah pada masa modern, ketika tekanan untuk mereformasi, mereformulasi, dan mengenalkan kembali hukum Islam muncul dan membuat studi hadis relevan kembali. Setelah pertengahan abad kesembilan belas, pada prakteknya mazhab-mazhab klasik digantikan oleh peraturan hukum sekuler yang diilhami barat, dan kebanyakan masyarakat Muslim ditantang oleh gerakan seperti  hadis salafiyah.  Akibat tumbangnya dominasi mazhab-mazhab hukum klasik, terbukalah ruang bagi pengkajian kembali sumber-sumber hukum Islam dan kedudukan sunnah. Sejak terbebasnya masyarakat Muslim dari dominasi kolonial setelah tahun 1940-an, gerakan untuk memperkenalkan kembali hukum Islam dalam bentuk tertentu telah memunculkan urgensi praktis untuk mempertanyakan sumber-sumber syari’ah, dan metode untuk menghidupkan kembali syari’ah.
Di kalangan mereka mendorong gerakan untuk kembali ke hukum yang berbasiskan syari’ah dalam bentuk tertentu, ada anggapan implisit bahwa tidak mungkin melangkah balik dalam waktu dan kembali kepada hukum Islam dalam bentuk klasiknya. Hal ini bisa dilakukan dengan interpretasi dan pemahaman ulang tentang bagaimana penilaian kembali hadis.
Menurut Muhammad al-Ghazali, ada 5 kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3 berkaitan dengan sanad dan 2 berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang berkaitan dengan sanad adalah;  (1) Periwayat  dhabit, (2) Periwayat adil, dan (3) Poin satu dan dua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad [5]
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama hadis klasik, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan ketersambungan sanad sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke dalam kriteria poin dua. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali tidak memberikan argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini merupakan salah pemikiran atau ada unsur kesengajaan.[6]
Adapun 2 kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
  1. Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
  2. Matan hadis tidak mengandung illat qadhihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak periwayatannya) [7]
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh dan ahli ilmu kalam, mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli tersebut. [8]
Atas dasar itulah, Al-Ghazali menawarkan 4 metode pemahaman hadis atau prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi ketika hendak berinteraksi dengan sunnah, supaya dihasilkan pemahaman yang sesuai dengan ajaran agama. Diantaranya adalah;
a. Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritas setelah al-Qur’an. Tidak semua hadis orisinal dan tidak semua dipakai secara benar oleh periwayatnya. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an sebagaimana pernyataannya:
“Jelas bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak”.[9]
Pengujian dengan ayat al-Qur’an ini mendapat porsi yang lebih dari Muhammad al-Ghazali dibanding dengan 3 kriteria lainnya. Bahkan menurut Quraisy Shihab bahwa meskipun Muhammad al-Ghazali menetapkan 4 tolak ukur, kaidah nomor 1 yang dianggap paling utama menurut Muhammad al-Ghazali[10]
Penerapan kritik hadis dengan pengujian al-Qur’an  diarahkan secara konsisten oleh Muhammad al-Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit hadis yang dianggap sahih misalnya terdapat dalam kitab sahih bukhari dan muslim, dianggap dhaif oleh Muhammad al-Ghazali, bahkan secara tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan mu’amalah duniawiyah, akan mengantarkan hadis yang sanadnya dhaif, bila kandungan matannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, dari pada hadis yang sanadnya sahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dengan inti dari ajaran-ajaran al-Qur’an
b. Pengujian dengan Hadis
Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih sahih. Menurut Muhammad al-Ghazali hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dengan hadis yang lainnya, tetapi setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya, kemudian hadis-hadis yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
c. Pengujian dengan Fakta Historis
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhammad hidup, oleh karena itu hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dan sejarah, maka salah satu diantara keduanya diragukan kebenarannya.
d. Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika hadis nabi mengabaikan rasa keadilan. Menurut Al-Ghazali, bagaimanapun sahihnya sanad sebuah hadis, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al-Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru. Al-Ghazali sendiri mengakui, bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama terdahulu. Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadis nabi.
Jadi pada dasarnya, sebelum mengkaji lebih jauh tentang kriteria studi matan yang ditawarkan Al-Ghazali, satu hal yang perlu dicatat adalah bagaimanapun keadaannya, keempat pengujian tersebut tidak serta merta dapat diterapkan secara penuh untuk semua matan hadis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryadi, dari 48 contoh hadis yang diungkapkan oleh Al-Ghazali di atas,[11]dapat dikategorisasikan menjadi 5 yaitu,
1). Pengujian dengan Al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Berkaitan dengan hal di atas. Al-Ghazali memberi contoh hadis tentang mayat yang disiksa karena tangisan keluarganya. ‘Aisyah menolak hadis yang mengatakan bahwa orang mati disiksa karena tangisan keluarganya. Bahkan kemudian dia bersumpah nabi tidak pernah mengucapkan hadis tersebut. Alasan penolakannya adalah dianggap bertentangan dengan al-Qur’an,  لا تزر وازرة وزراخري(Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain”). (Q.S. Al-An’am(6): 164).
Demikianlah ‘Aisyah menolak dengan tegas periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an. Meskipun begitu, hadis tersebut masih saja tercantum dalam kitab-kitab hadis sahih. Bahkan Ibnu Sa’ad dalam Tabaqat al-Kabirnya menyebutkan berulang-ulang dengan redaksi yang berbeda-beda.
Sebagian ulama memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan hadis tersebut adalah orang mukmin tersebut merasa sakit setelah kematiannya disebabkan tangisan keluarganya. Menurut Al-Ghazali, pemahaman semacam ini bertentangan dengan Q.S. Al-Fushilat (41): 31.
2). Pengujian dengan al-Qur’an, Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Contoh hadis tentang tidak adanya qishas bagi seorang muslin yang membunuh orang kafir. لا يقتل المسلم الكافر (Seorang muslim tidak boleh di bunuh karena membunuh orang kafir).
Al-Ghazali menolak hadis tersebut disebabkan mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan. Karena antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
3). Pengujian dengan Hadis, Fakta Historis, dan Kebenaran Ilmiah.
Hadis tentang larangan perempuan shalat jamaah di masjid, yang diriwayatkan oleh Ibnu khuzaimah ditolak oleh Al-Ghazali, karena dianggap bertentangan dengan amalan Rasulullah yang membiarkan perempuan mengikuti shalat jamaah di masjid dengan menyediakan pintu khusus bagi perempuan yang masuk masjid untuk mengikuti shalat jamah. Rasul juga pernah memendekkan shalat Subuh dengan membaca surat-surat pendek ketika mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu’ karena tangisan anaknya.
Menurut Al-Ghazali, bahkan nabi tidak memberikan sugesti agar perempuan lebih baik shalat di rumah. Dengan demikian, hadis yang menjelaskan tentang larangan perempuan ikut shalat di masjid adalah bathil. Hadis ini juga tidak dijumpai dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim.
4). Pengujian Dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
Hadis yang membicarakan tentang kadar susuan harus sepuluh isapan. Menurut Al-Ghazali, hadis tersebut tidak dapat dijadikan pedoman, karena sedikit atau banyak isapan tetap berpengaruh terhadap si bayi, yang dianggap menimbulkan hak kemahraman.
5). Pengujian dengan kebenaran ilmiah.
Hadis tentang haramnya na’y (mengumumkan tentang kematian seseorang). Menurut Al-Ghazali na’y yang dilarang adalah dengan tujuan memamerkan atau menyebutkan jasa-jasa si mayat agar menimbulkan kebanggaan atau kekaguman bagi keluarga yang ditinggalkannya.

C.     Hadis dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi

Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir kontemporer yang lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika usianya belum genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama dengan Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
1. Sikap Yusuf Qardhawi Terhadap Hadis
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[12]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
2. Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
  1. Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
  2. Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
  3. Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah [13]yaitu;
a. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan  yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat, atau yang dianggap bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan hadis yang terkesan bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang dapat diterima.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi mengemukakan contoh hadis tentang nisab tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dijadikan dasar para ulama fikih untuk membatasi jenis atau macam tanaman tertentu (bukan berbentuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Di samping itu, Al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak sehingga tidak dapat di simpan di bait al-mal terlalu lama
b. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda;[14] لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.)[15]
c. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memberikan sebuah contoh hadis tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan. “Dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering menziarahi kuburan.” Hadis ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan Hasan ibn Sabit dengan lafaz “nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti laki-laki. Diantara  riwayatnya adalah    كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
(Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut). [16]
d. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu  yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan  yang umum, yang sementara dan abadi.  Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.
e. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
f. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
g. Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya
h. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.

D.     Implementasi Pemahaman Yusuf Al-Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali

Dari pemikiran yang ditawarkan kedua tokoh tersebut mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh Al-Ghazali dan al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran  hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran mereka bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan keduanya merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan keduanya dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.[17]
Dengan model yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut, banyak menjawab berbagai problem realitas sosial umat Islam saat ini. Dengan kata lain, kedua tokoh tersebut mempertegas bahwa Islam adalah agama yang universal yang berlaku untuk setiap masa dan tempat, maka secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan fleksibilitas ajaran Islam, bukan sebaliknya sebagai sesuatu yang kaku dan ketat.
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.[18]
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini.[19] Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka adalah salah.

E.      Kesimpulan

Harus diakui, tawaran metode pemahaman hadis dan implementasinya yang dikemukakan Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menjawab berbagai persoalan umat Islam saat ini, terlebih keduanya concern terhadap metode dan contens (isi)-nya sekaligus. Korelasi metode dan isi sangat erat, sehingga metode teraplikasikan dalam isi.
Pemahaman kontekstual terhadap hadis pada saat sekarang dan untuk yang akan datang memang suatu keniscayaan. Kontekstualisasi terhadap hadis nabi menjadikan ajaran islam fleksibel, luwes dan rasional sesuai dengan ajaran Islam. Namun demikian, kontekstualisasi harus dilakukan secara hati-hati, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan hal-hal gaib. Disamping itu, kontekstualisasi harus mempertimbangkan aspek universal, lokal dan partikular ataupun situasi dan kondisi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

‘Ajaj Al-Khathib, Muhammad. Ushul Al-Hadis Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al Fikr, t.th
Al-Ghazali, Muhammad. Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadis, Kairo, 1989, edisi Indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudulStudi Kritis atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman tekstual dan Kontekstual.
Ismail, Suhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Jakarta: bulan Bintang, 1995
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999
Jurnal Esensia Vol 3 No. 1,  Januari 50
Suryadi, Metode Pemahaman hadis Nabi: telaah atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi, Ringkasan Disertasi pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004
W. Brown, Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 1996

[1] Secara rinci, Suryadi, dalam ringkasan Disertasinya Metode Pemahaman hadis Nabi: telaah atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi, yang disampaikan pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004, hlm. 4.
[2] Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah Bayna Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadis (Kairo, 1989, buku ini edisi berbahasa Indonesianya diterbitkan Mizan (1999) berjudul Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw.: Antara Pemahaman tekstual dan Kontekstual.
[3] Para ulama berbeda pendapat tentang interpretasi aturan-aturan ini. Lihat  Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),. hlm. 305.
[4] Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: bulan Bintang, 1995), hlm. 111
[5] Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung: mizan, 1996), hlm. 15
[6] Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm.6
[7] Ibid
[8] Ibid., hlm. 20
[9] Ibid., hlm. 21
[10] Ibid., hlm. 29
[11] Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, antara pemahaman tekstual dan kontekstual, (Bandung: mizan, 1996), hlm. 23-30
[12] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: karisma, 1999), hlm. 92
[13] Ibid., hlm. 94-188
[14] Riwayat Bukhari bab al-Muzara’ah. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Bulugh al-Maram, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), hlm. 194
[15] Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Ibid.,hlm. 195
[16] Jalal al-Din Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nadzir, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), hlm.  458
[17] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 18-19
[18] Ibid., hlm. 35
[19] Suryadi, Pendekatan tematik dalam memahami hadis, dalam Jurnal Esensia Vol 3 No. 1,  Januari 50

Kamis, 19 Desember 2013

Teori Interpretasi Jorge J. E Gracia dalam Kajian Hadis

  1. Biografi Singkat Jorge J. E Gracia
Jorge J. E. Gracia lahir pada tahun 1924, di Kuba. Ia adalah professor dalam bidang filsafat di Department Of Philosophy, University Of Buffalo di New York. Ia menempuh undergraduate program (B.A.) dalam bidang filsafat di Wheaton College (lulus tahun 1965), graduate program (M.A.) dalam bidang yang sama di University Of Chicago dan doctoral program juga dalam bidang filsafat di University Of Toronto. Melihat dari sejarah pendidikannya, diketahui bahwa area of interest (bidang ketertarikan) Gracia sangat linear, yakni filsafat, sehingga tidak diragukan bahwa dia memiliki ilmu yang mendalam tentang berbagai hal dalam bidang filsafat, seperti metafisika/ontologi, historiografi filosofis, filsafat bahasa/hermeneutika, filsafat skolastik, dan filsafat Amerika Latin. Selain ahli filsafat, Gracia juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah-masalah etnisitas, identitas, nasionalisme dan lain-lain.
Keahlian Gracia dalam bidang-bidang tersebut dibuktikan dengan karya-karya yang cukup banyak dalam bidang-bidang tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel dalam jurnal dan antologi, maupun artikel seminar. Diantara karya-karyanya yang relevan dengan penelitian ini adalah:
1.             A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology (Albany: State University Of New York Press, 1995).
2.             Text: Ontological Status, Identity, Author, Audience (Albany: State University Of New York Press, 1996).
3.             Texts and Their Interpretation, review of metaphysics 43 (1990), 495-542.
4.             Can There Be Texts Without Historical Authors? American Philosophical Quarterly 31, 3 (1994), 245-253.
5.             Can There Be Texts Without Historical Audiences? The identity and function of audiences, review of metaphysics 47, 4 (1994), 711-734.
6.             Can There Be Definitive Interpretations? In European philosophy and the American academy, ed. B. smith (la sale, IL: heeler institute, 1994), 43-53.
7.             Author and repression, contemporary philosophy 16, 4 (1994), 23-29.
8.             Textual identity, sorties 2 (1995), 57-75.
9.             Where is Don Quixote? The location of texts and works, Concordia 29 (1996),        95-107. (9) The interpretation of revealed texts: do we know what god means?  (presidential address), proceedings of the American catholic philosophical association, vol. 72 (Washington, Dc: catholic university of America press, 1998), 1-19.
10.         Relativism and The Interpretation Of Texts, metaphilosophy 31,1/2 (2000), 43-62.
11.         Borges Pierre Menard: Philosophy Of Literature, journal of aesthetics and art criticism 59, 1 (2000) 45-57
12.         The Ethics of Interpretation, in volume of the international academy for philosophy, Liechtenstein, forthcoming?
13.         A Theory of Author, dalam W. Irwin, (ed.), the death and resurrection of the author (Westport, CN: Greenwood Press, 2002), 161-189.
14.         The Uses And Abuses Of The Classics: Interpreting Interpretation In Philosophy, dalam J.J.E. Gracia dan Jiyuan Yu (eds). Uses and abuses of the classics: interpretation in philoshophy.
15.         Meaning, dalam dictionary for theological interpretation of scriptures, diedit oleh Kevin J. vanhoozer, Daniel j. treier, et al.
16.         History/Historiography Of Philosophy, dalam encyclopedia of philosophy (new York?: macmillan, dalam persiapan).
17.         From Horror To Hero: film interpretations of stoker’s Dracula, in William Irwin dan Jorge J. gracia, eds, philosophy and the interpretation of popular culture (dalam persiapan).
18.         The Good And Bad: the quests of sam gamgee and smeagol (alias Gollum) for the happy life, dalam G. bassham dan eric Bronson (eds.), philosophy and the lord of the rings (lasalle, IL:open court, 2003).


  1. Teori Interpretasi Jorge J. E Gracia
Gracia dalam bukunya A Theory Of Textuality mengenalkan sebuah theory interpretasi yang dikenal dengan theory fungsi interpretasi (interpreter’ function). Dalam teori fungsi interpretasi ini ada tiga tahap yang harus dilalui untuk mendapatkan sebuah pemaknaan yang konprehensif, yaitu historical function, meaning function, dan implicative function. teori interpretasi ini tentunya tidak lahir begitu saja tanpa disertai dengan sudut pandang Gracia dalam memahami dan memaknai apa itu teks.
“A text is a group of entities, used as signs, which are elected, arranged, and intended by an author in a certain context to convey some specific meaning to an audience”[1] dari defenisi teks yang diungkapkan Gresia di atas ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan pertama, sekumpulan entitas yang digunakan sebagai tanda (a group of entities, used as signs), kedua tanda-tanda (signs), ketiga makna khusus (specific meaning), keempat, maksud (intention), kelima, pilihan dan susunan (selection and arrangement), keenam, konteks (context). Elemen-elemen inilah yang nantinya menjadi focus dalam memahami sutau makna dalam teori fungsi interpretasi Gracia.
Adpun tiga tahapan-tahapan dalam teriori fungsi interpretasi sebagai berikut:
1.      Historical Function (fungsi historis)
Interpretasi atau penafsiran sebuah teks merupakan suatu yang mutlak harus dilakukan sebagai respon berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat karena situasi dan kondisi yang berbeda- beda. Dalam teori ini interpretasi tidak bisa lepas dari sejarahnya baik itu berhubungan dengan pencipta teks dan audiens pada saat teks itu muncul.
Gracia menjelaskan tujuan dari penafsir adalah untuk menciptakan pemahaman di benak audiens kontemporer, terkait tindakan mental yang memunculkan teks pertamakalinya (historical author) bukan orang yang mengkreasikan teks melainkan seperti kondisi masyarakat ketika teks itu muncul.[2] Pandangan ini mengisyaratkan bahwa seorang penafsir harus mampu menyampaikan apa yang menjadi tujuan dari teks sejarah (historical teks) dengan pemahaman yang sama dengan apa yang diinginkan oleh historical author. Pemahaman yang dimiliki penafsir inilah yang kemudian di bawa pada audiens kontemporer sebagai satu pemahaman yang di dasarkan pada kondisi psikologi historical audience. Pemaparan ini menyimpulkan bahwa tujuan penafsir adalah untuk menciptakan pemahaman pada sebuah teks di antara audiens kontemporer tindakan pemahaman yang intensional artinya sama dengan yang dihasilkan oleh historical text pada konteks historical author dan historical audience dari historical text.[3]
Dari sinilah kita dapat melihat lebih jelas mengapa interpretasi merupakan bagian integral dari pemahaman historical text untuk memahami sebuah teks. Tujannya ialah untuk menjembatani kesenjangan kontekstual, konseptual, budaya dan sebagainya yang memisahkan teks dimana ia dibaca, didengar, atau bahkan diingat.[4] Hal ini merupakan sesuatu yang tak bisa dipungkiri karena perbedaan budaya dan rentang waktu antara pencipta teks dengan pembaca tentu saja akan melahirkan konsep yang berbeda pula. Untuk menyatukan makna dari suatu teks disinilah letak urgennya sebuah kajian terhadap sejarah teks atau disebut historical text dalam teori ini.
2.      Meaning Function (fungsi makna)
Meaning function atau lebih tepat fungsi perkembangan makna. Gracia menegaskan bahwa fungsi ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman di benak audiens kontemporer dan mengembangkan makna dari suatu teks. Terlepas dari apakah pemaknaan tersebut sama atau tidak dengan apa yang dimaksud oleh author dan audiens historis.[5]
Perkembangan makna yang dimaksud adalah suatu pemahaman tambahan dalam menafsirkan suatu teks karena kondisi yang dialami para penafsir yang berbeda- beda. Akan tetapi bukan dalam artian penafsiran tersebut hilang kendali dari makna subtasi suatu teks, melainkan perkembangan makna tersebut hanyalah suatu pengembangan dari makna subtansi yang di kandung oleh teks sebagai upaya penyesuaian dengan problematika yang sedang dialami para penafsir atau dengan kata lain menghidupkan teks sesuai dengan permasalahannya.
3.      Implicative Function (fungsi penerapan)
Pemaknaan suatu teks dapat dipahami dari tindakan yang dilakukan oleh audiens. Tindakan inilah yang nantinya dipahami sebagai fungsi penerapan. Akan tetapi anatara makana dan penerapan harus tetap dibedakan walaupun makana dan penerapan terlihat sama tapi pada hakikatnya kedua kategori ini sangat berbeda. Makna hanya pada ranah konseptual sedangkan penerapan sudah lebih jauh dari konsep menjadi sebuah tindakan audiens.
Pemahaman tentang makna historis merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memahmi fungsi penerapan ini. Jadi seorang penafsir harus konsisten dengan makna yang ada pada teks tersebut yang kemudian menjadi makna yang dipahami oleh audiens kontemporer bukan pemahaman yang subyektif.[6] Akan tetapi hal ini bukanlah suatu yang mudah bagi seorang penafsir karena situasi yang dialami seorang penafsir dan kemunculan teks tidak sama.
Untuk menanggapi hal ini Gracia memberikan tiga kategori yang harus dipahami. Pertama, interpretasi dipahami sebagai gabungan dari teks yang akan di tafsirkan (intrpretandum) dan penambahan tekstual (interpretans) yang diperlukan untuk memahami teks. Kedua, tindakan pemahaman subyek. Ketiga, proses atau kegiatan dengan cara mengembangkan pemahaman.[7]
Dari pemaparan di atas yang ditekankan adalah pentingnya membedakan mana yang disebut sebagi tambahan dari sebuah teks, tindakan pemahaman penafsir, dan pengembangan pemahaman. Singkatnya fungsi ini dapat dipahami sebagai upaya memunculkan di benak audiens kontemporer suatu pemahaman sehingga mereka memahami implikasi dari makna teks yang ditafsirkan.[8] Tentu saja pemahaman yang dimaksud bukanlah pemahaman yang terpaku pada tekstual melainkan pemahaman yang dapat dimengerti oleh audiens kontemporer dengan membaca kondisi yang dialami oleh audiens itu sendiri. Lebih jelasnya penafsir berhak mengembangkan pemahaman sebagai lanjutan dari pemahaman obyektif tersebut, sehingga teks tersebut mempunyai signifikansi dan bisa diaplikasikan sesuai untuk masa dan tempat di mana penafsiran itu dilakukan.[9]

  1. Jorge J. E Grecia dalam Kajian Hadis
Tiga teori fungsi di atas baik itu historical function, meaning function, dan implicative function. menurut penulis merupakan satuan teori yang sangat relevan dalam kajian hadis. Untuk memudahkan dalam memahami keterkaitan teori ini dengan kajian hadis ada baiknya penulis menjelaskan dimana letak dan posisi ketiga teori fungsi di atas dalam ranah kajian hadis.
Pertma, historical function Gracia dalam hal ini merumuskan seorang penafsir haruslah memaknai suatu teks dengan memahami konteks dimana teks itu muncul pertama kalinya seperti yang sudah dijelakan di atas. Dalam kajian hadis hal ini disebut dengan istilah asbabul wurud yaitu suatu disiplin ilmu yang membahas tentang latar belakang munculnya suatu hadis baik itu yang bersifat mikro ataupun makro.
Dengan mengetahui historical function yang meliputi historical text, historical author, dan historical audience atau asbabul wurud dalam kajian hadis tidak tertutup kemungkinan audiens kontemporer dapat memahami apa yang akan di sampaikan oleh pencipta teks. Sehingga teks tersebut tetap relevan meskipun dalam konteks dan kebudayaan yang berbeda.
Kedua, meaning fuction. Kajian tentang perkembangan makna tentunya sangat penting untuk digali lebih dalam. Langkah ini dilakukan agar tidak terlalu cepat mengklaim benar atau salah dalam memahami makna- makna yang datang kemudian akibat dari pembacaan terhadap suatu teks. Perkembangan makna ini dalam kajian hadis tentunya mutlak adanya hal ini dapat dilihat dari fungsi hadis itu sendiri.
Hadis secara fungsinya adalah sebagai penjelas atau penafsiran yang pertama terhadap al- Qur’an. Jika hadis merupakan tafsiran dari al- Qur’an maka konsep yang pertama ada dalam al- Qur’an, kemudian dijelaskan dalam hadis dan lebih jauh lagi dalam kitab- kitab tafsir yang muncul setelahnya. Ketiga kategori ini bisa saja sama dalam ranah makana dan berbeda pada aspek penerapannya hal ini dikarenakan problematika masyarakat yang secara dinamis terus berkembang dari masa kemasa. Oleh karena itu pemetaan perkembangan makna perlu adanya untuk memahami suatu konsep secara konprehensif.
Ketiga, implicative function. pemaknaan terhadap sebuah teks akan berpengaruh pada penerapannya dalam hal ini disebut dengan fungsi implikasi atau penerapan. Fungsi penerapan ini dalam memahami makna suatu teks hadis khususnya, menurut penulis akan memberikan gambaran atas makna yang ditangkap pelaku sejajarah atau audiens historis sampai pada audiens kontemporer. Dengan pengertian bagaimana teks itu diterapkan merujuk pada konsep yang mereka miliki. Jadi fungsi penerapan ini dalam kajian hadis nantinya akan mendeskripsikan bagai mana teks hadis tersebut diterpkan pada saat munculnya dan dimunculkan kembali dalam bernagai kasus lainnya.
Dari pemaparan diatas maka penulis menegaskan bahwa teori fungsi yang diusung Gracia ini relevan dalam mengungkap makana hadis secara konprehensif tidak hanya terbatas pada konseptual atau konstektual saja tetapi bagaimana memadukan antara teks dengan konteksnya.



[1]Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology (Albany: State University Of New York Press, 1995), hlm. 4.
[2] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology, hlm. 155.
[3] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology, hlm. 157.
[4] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology.hlm. 157.
[5] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology.hlm. 160.
[6] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology.hlm. 161.
[7] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology.hlm. 161.
[8] Jorge J. E. Gracia, A Theory Of Textuality: The Logic And Epistemology, dalam Sahiron, Syamsuddin, Hermenetika Jorge J. E. gracia dan Kemungkinannya dalam  Pengembangan Studi al- Qur’an ( Yogyakarta: Secretariat Dosen Tetap UIN Sunan Kali Jaga, 2010) hlm. 7.
[9] Sahiron, Syamsuddin, Hermenetika Jorge J. E. gracia dan Kemungkinannya dalam  Pengembangan Studi al- Qur’an, hlm. 8.