ASSALAMU'ALAIKUM

Jumat, 20 September 2013

Takhrij Hadits

Takhrij al-Hasits
      A.  Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologis kata takhrij berasal dari kata kharraja yang berarti al-zuhur(tampak) dan al-buruz(jelas).[1] Sedangkan menurut Mahmud al-tahhan, takhrij memiliki arti ijtima amarain fi syaiin ahid (kumpulan dua perkara dalam satu masalah).[2]
Adapun menurut istilah atau terminologis takhrij ialah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.[3] Syuhudi ismail juga memaparkan dalam bukunya bahwa takhrij hadits ialah mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan periwayatnya dengan sanad lengkap serta dengan penyebutan metode yang mereka tempuh. Inilah yang dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadits, seperti al-Bukhari yang menghimpun kitab sahih al-Bukhari.[4]
B.   Cara Mentakhrij Hadits
Ada lima metode dalam mentakhrij hadits:
a.      Dengan mengetahui rawi yang pertama.
b.      Dengan mengetahui lafadz awal suatu hadits
c.       Dengan mengetahui sebagian lafadz, baik pada awal, tengah maupun pada akhir matannya.
d.      Dengan mengetahui tema hadits
e.      Dengan mengamati secara mendalam keadaan sanad dan matn
C.     Manfaat Takhrij Hadits:[5]
a.      Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab hadits dimana suatu hadits berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
b.      Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab hadits yang dirujuknya.
c.       Dapat memperjelas keadaan sanad. Karena dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang banyak itu, maka dapat diketahui apakah hadits itu munqati’ , mu’dal, dan lain-lain.
d.      Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat.
e.      Dapat mengetahui komentar para ulama terhadap suatu hadits
f.        Dapat memperjelas kualitas hadits yang masih samar.
g.      Dapat mengetahui gharib al-Hadits, syaz dan illatnya.



[1] Lous ma’luf, fi al-Lughah wa al-Alam (Beirut: Dar al-Masyriq, t.t) hlm. 172; Ahmad Warson Munawwir, kamus al-Munawwir (Yogyakarta: pondok pesantren al-Munawwir, 1984) hlm. 356.
[2] Mahmud al-Tahhan, Usul al-takhrij wa dirasat al-asanid (Beirut: dar al-qur’an al-karim,1978) hlm.9.
[3] Mahmud al-Tahhan, Usul al-takhrij wa dirasat al-asanid, Hlm.12.
[4] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) Hlm.42.
[5] Abu Muhammad Abd Al-Mahd Ibn Adb Al-Qadir Ibn Abd Al-Hadi, Turuq Takhrij Hadits rasulillah saw.( Kairo: dar al-itisam, t.t. ) hlm. 11-14.

JENGGOT DAN KUMIS DALAM HADITS



BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadits merupakan pegangan pokok yang menjadi rujukan dalam menjawab semua problematika kehidupan, baik yang bersifat ibadah maupun muamalah. Akan tetapi, mengetahui dalil dan dasar-dasar keagamaan yang bersumber dari teks al-Qur’an dan hadits belum cukup untuk menjawab problematika yang timbul dalam masyarakat, karena sifatnya yang dinamis dari masa ke masa. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman yang tepat terhadap teks-teks keagamaan, dengan mengamati konteks ketika hadits tersebut muncul dan konteks di mana hadits itu dimunculkan kembali sebagai respon terhadap problematika yang timbul dalam masyarakat.
Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk yang berbeda dalam tataran perakteknya; pertama skipturalistik yang lebih berorientasi pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat subtansi –alistik yang berorientasi pada makana dan isi atau konteks.[1] Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti al-Qur’an dan Hadits untuk meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam pemahaman teks dapat menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan menggangu stabilitas kerukukan umat beragama,[2] seperti dalam memahami hadits tentang memelihara jenggot dan mencukur kumis. Hadits ini sering sekali menjadi perdebatan karena perbedaan sudut pandang yang ahirnya menimbulkan konflik baik alam internal islam maupun eksternal. Oleh karena itu perlu kiranya ada pemahaman yang mendasar tidakhanya pada makna harfiah akan tetapi harus menggali makna subtansinya.



BABII
PEMBAHASAN
A.    Teks hadits dan terjemahnya
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَلْقَمَةَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُعْفَى اللِّحَى وَأَنْ تُجَزَّ الشَّوَارِبُ و قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَلْقَمَةَ
Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abdurrahman bin 'Alqamah aku mendengar Ibnu Umar berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kalian untuk membiarkan jenggot dan mencukur kumis." Dan Abdullah bin Al Walid berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin 'Alqamah."(HR. ahmad 4892)[3] 
B.     Takhrij dan tahqik al-Hadits
Hadit ini juga diriwayatkan oleh imam hadits yang lain, sebagai berikut:[4]
No
Nama perawi
Nama Bab
Nomor hadits
1
Bukhori
Libas
5438
2
Muslim
Thaharah
380, 381
3
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
2687, 2688
4
Nasa’i
*Thaharah  **al-Ziinah
*12, 15 **4959, 4960
5
Abu Daud
At- Tarajil
3667
6
Malik
Al- Jaam’u
1488

Untuk menentukan kualitas hadits diatas perlu adanya kajian sanad yang berkaitan bagaimana penilaian para ulama terhadap riwayat-riwayat para rawi tersebut dan apakah ada ketersambungan antara rawi pertama dan rawi selanjutnya. Dalam sanad hadits ini ada empat rawi; Abdullah bin 'Umar bin Al- Khaththab bin Nufail, Abdur Rahman bin 'Abdullah, Sufyan bin Sa'id bin Masruq dan Mu'ammal bin Isma'il . untuk memperoleh ketersambungan atau keterkaitan sanad-sanad diatas maka perlu kajian atas biografi yang meliputi nama, kota tinggal tahun lahir dan wafat dan segala aspek yang memberikan informasi tentang ketersambungan antara sanad pertama dan yang lainnya. Adapun  penjabarannya sebagi berikut:
1.      Abdullah bin 'Umar bin Al- Khaththab bin Nufail
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin 'Umar bin Al Khaththab bin Nufail beliau termasuk kalangan shahabat dan kuuniyahnya adalah Abu 'Abdur Rahman, semasa hidup beliau menetap di Madinah. Abu 'Abdur Rahman wafat pada tahun 73 H. Dalam periwatannya para ulama seperti Ibnu Hajar Al Atsqalani dan Adz Dzahabi mengomentari beliau sebagai Shahabat yang dalam artian tidak perlu dipertanyakan ke-Tsiqohannya karena menerut ulama hadits kullu shahabatil-‘udul. [5]
2.      Abdur Rahman bin 'Abdullah
Nama lengkap beliau Abdur Rahman bin 'Abdullah jika dikategorikan beliau trmasuk kalangan Tabi'in kalangan biasa. Semasa hidupya menetap di Marur Rawdz. Beberapa komentar ulama terhadapnya pertama An Nasa'I menilai beliau sebagai rawi yang Tsiqah kedua Al 'Ajli dengan komentar yang sama yaitu       Tsiqah begitu juga yang ketigaIbnu Hajar al 'Asqalani menilai bliau rawi yang Tsiqah.[6]
3.      Sufyan bin Sa'id bin Masruq
Nama lengkap rawi ini adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq Kalangan Tabi'ut Tabi'in kalangan tua. Beliau dijuluki Abu 'Abdullah. Semasa hidupnya beliau menetap di kota Kufah sampai ahirnya beliau wafat pada tahun 161 H. Beberapa komentar tentang periwayatan beliau; Malik bin anas menilai beliau Tsiqah senada dengan Yahya bin Ma'in dan Ibnu Hibban mengatakan beliau termasuk dari para huffad mutqin. Komentar yang juga hampir mirip di lontarkan Ibnu Hajar al 'Asqalani beliau menilai Sufyan bin Sa'id bin Masruq sebagai seorang yang tsiqah, hafidz juga faqih.[7]
4.      Mu'ammal bin Isma'il
Mu'ammal bin Isma'il beliau berasal dari kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa. Beliau dijuluki Abu 'Abdur Rahman. Beliau menetap dkota Bashrah hingga beliau wafat pada tahun 206 H.  Beberapa komentar terhadap periwatan beliau diantaranya; Yahya bin Ma'in dengan penilaian tsiqah, Al-Bukhari menilai beliau mungkarul hadits dan Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat.[8]
Dari data-data di atas kita memperoleh imformasi mengenai para rawi baik berupa kualitas rawi berdasarkan penilaian para ulama juga kemungkinan bertemunya antara rawi yang satu dengan rawi yang lainnya. Dari keseluruhan penilaian para ulama terhadap rawi-rawi dalam sanad hadits di atas, sanad hadits ini termasuk kategori hasan karena para ulama condong menilai rawi dengan derajat tsiqoh walaupun terdapat satu komentar yang menilai Mu'ammal bin Isma'il dengan munkar al-hadits. Jika diamati dari segi kurun waktu jarak tahun wafatnya hanya pada kisaran 40-50 tahun. Jadi sangat memungkinkan rawi yang pertama, kedua, ketiga dan keempat saling bertemu.
C.     Analisis teks hadits dan kontekstualisasinya
Anjuran untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis perlu dikaji lebih dalam lagi untuk menentukan pesan moral apa yang terkandung dalam hadits tersebut. Menganalisa adalah jalan yang dianggap lebih tepat dalam mengambil kesimpulan karena analisis ialah penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain agar mendapatkan kejelasan suatu masalah.[9] Oleh karena itu dalam kajian hadits ini perlu ada anilisa yang tepat baik secara lafadz maupun sturuktur atau susunan kalimatnya serta kronologis yang membentuk sebuah hadits yang disebut sebagai asbabul wurud dalam kajian hadits baik makro ataupun mikro.
Dalam menganalis hadits tentang memelihara jenggot dan mencukur kumis perlu rasanya melihat riwayat yang setema dengan hadits diatas kemudian mengelompokkan hadits-hadits tersebut sesuai dengan bentuk kesamaan yang terdapat dalam matan hadits tersebut. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam mengambil sebuah kesimpun yang nantinya akan melahirkan sebuah makna baru. Oleh karena itu pada tahap analisis teks dan kontekstualisasi teks hadits ini akan di bagi dalam beberapa kategori:
1.      Hadits-hadits satu tema
Dalam penelusuran yang penulis lakukan dengan bantuan perangkat computer CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah pencarian hadits berdasarkan tema kandungan Hadits[10] dengan metode Takhrij al-Hadits bi al-Alfadz.[11] Untuk memudahkan pencarian di gunakan kata kunci الشوارب  dan الشارب. setelah dilakukan pemilahan terhadap hadits-hadits tersebut maka penulis menemukan 86 hadits bertemakan jenggot maupun kumis. Dengan kata as-Syawarib ditemukan 24 hadits, sedangkan dengan kata as-Syarib, ditemukan 59 Hadits.  Adapun rincian hadits-hadits tersebut sebagai berikut:[12]

No
Nama rawi
No hadits
jumlah
1
Bukhori
5438, 5439, 5440, 5441, 5442, 5443, 5823
7
2
Muslim
377, 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384,
8
3
Nasa’i
9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 4289, 4954, 4955, 4956, 4957, 4958, 4959, 4960, 4961, 5130, 5131
18
4
Abu Daud
49, 160, 2407, 3666, 3667, 3668
6
5
Tarmidzi
2680, 2681, 2682, 2683, 2684, 2685, 2687, 2688
8
6
Ibnu Majah
288, 289,290, 291
4
7
Ahmad
2072, 2602, 4425, 4889, 4892, 5074, 5716, 6167, 6287, 6835 6842, 6963, 7479, 8318, 8423, 8430, 8665, 8953, 9945, 11785, 12637, 13183, 17502,17526, 17606, 22382, 23909
27
8
Malik
788, 790, 1436, 1437, 1488
5

2.      Variansi lafadz dalam matan hadits
Dengan kata as-Syawarib:
no
Bentuk kata
Arti kata
1
أَحْفُوا
Potonglah
2
إِحْفَاءِ
Memotong
3
جُزُّوا
Potonglah
4
حُفُّوا
Potonglah
5
قُصُّوا
Cukurlah
6
انْهَكُوا
Habiskanlah
7
وَخُذُوا
Ambillah
8
تُجَزَّ
Memotong
9
فِّرُوا
Tumbuhkanlah
10
أَعْفُوا
Biarkanlah
11
إِعْفَاءِ
Membiarkan
12
أَوْفُوا
Panjangkanlah
13
أَرْخُوا
Biarkanlah
14
تُعْفَى
Membiarkan

Dengan kata as-Syarib:
no
Bentuk kata
Arti kata
1
قَصُّ
Potonglah
2
يَقُصُّ
Memotong
3
تَقُصُّ َ
Memotong
4
فَقَصَّ
Maka potnglah
5
أَخْذَ
Mengambil
6
يَأْخُذُ
Mengambil
7
خُذُوا
Ambillah
8
تَقْصِيرُ
memendekkan

Dalam lisan al-arab di jelaskan bahwa kata أَحْفُوا, إِحْفَاءِ, حُفُّوا berarti memotong. Dikatakan juga didalamnya, bahwa di dalam kitab al-Tahdzib bahwa perintah memotong tersebut dengan melekatkan potongan atau berarti menghabiskan.[13] Dari pemetaaan kata-kata diatas jelas bahwa semua hadits menunjukkan bahwa nabi Muhammad memerintahkan untuk memotong, mencukur dan membersihkan kumis. Namun dalam redaksi as-Syarib ditemukan perintah untuk hanya memendekkan. Dalam Kitab Fath al-Bari disebutkan bahwa dari semua variasi pemakaian kata قُصُّوا, جُزُّوا dan أَحْفُوا dan lainnya yang digunakan, menunjukkan tujuan الْإِزَالَة (menghilangkan).[14] Sebaliknya Nabi memerintahkan untuk menumbuhkan memelihara dan membiarkan jenggot itu tumbuh. Kata أَوْفُوا, أَعْفُوا dan sebagainya. Bermakna sama yaitu untuk tidak dicukur اُتْرُكُوهَا وَافِيَة كَامِلَة لَا تَقُصُّوهَا [dibiarkan][15] namun dalam bebrapa literatur menunjukkan untuk memeliharanya.

3.      Variansi Hadits berdasarkan makna;
Al-fithrah
No
Nama perawi
Nama Bab
Nomor hadits
1
Bukhori
Libas *al- Isti’dzan
5438, 5439, 5440, 5441, *5823
2
Muslim
Thaharah
377, 378, 384
3
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
 2680, 2681
4
Nasa’i
Thaharah  *al-Ziinah
9, 10, 11, 12, *4954, 4955, 4956, 4957, 4958, 5130
5
Abu Daud
At- Tarajil *Taharah
*3666, *49
6
Ibnu Majah
Taharah wasunanuha
288, 289, 290
7
Ahmad
Baqi musnad al-maktsarin
*Awwalu musnad al-Kufiyin
4889, 5716, 6842, 6963, 7479, 8953, 9945, 23909 *17606
8
Malik
Al- Jaam’u
1436
Jumlah 35 Hadits
Tanda * sbagai pembeda bab.
Akhfuu/ ikhfa’u
no
Nama perawi
Nama bab
Nomor hadits
1
Muslim
Taharah
 380, 381, 382
2
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
2687, 2688
3
Nasa’i
Taharah *al-Ziinah
15 *4959, 4960, 5131
4
Abu Daud
Al-Tarajil
3667
5
Ahmad
Musnad limaktsarin
4425, 5074, 6167
6
Malik
al-jaam’u
1488
Jumlah 14 Hadits
Kholifuhum /kholifu
no
Nama perawi
Nama bab
Nomor Hadits
1
Bukhori
Libas
5442
2
Muslim
Thaharah
 382, 383
6
Ahmad
Baqi musnad limaktsarin
8318
Jumlah 4 hadits
Batasan waktu dan kadar kumis
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Muslim
Thaharah
379
2
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
2682, 2683
3
Nasa’i
Thaharah
14
4
Abu Daud
Thaharah *Al-Tarajil
160 *3668
5
Ibnu Majah
Taharah wasunanuha
291
6
Ahmad
Baqi musnad limaktsarin *musnad al-Kufiyin
11785, 12637, 13183, *17502,17526
Jumlah 12 Hadits
Mencukur pada saat haji atau umrah
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Malik
Haji
788, 790
Jumlah 2 hadits
Golongan
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
2685,
2
Nasa’i
thaharah * ziinah
13 *4961
3
Ahmad
Baqi musnad al-maktsarin
22382
Jumlah 4 Hadits
Berkaitan dengan hewan kurban
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Abu Daud
Addhahaaya
2407
2
Nasa’i
Addhahaaya
4289
3
Ahmad
Musnad al-Muktsirin min al-Shahabat
6287
Jumlah 3 Hadits
Nabi Ibrahim
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Tarmidzi
Adab ‘an Rasulillah
2684
2
Ahmad
Musnad Bani Hasyim
2602
3
Malik
Al- Jam’u
1437
Jumlah 3 Hadits
Secara langsung
No
Nama Perawi
Nama Bab
Nomor Hadits
1
Bukhori
Libas
5443
2
Ahmad
Baqi musnad al-maktsarin
4892, 6835, 8423, 8430, 8665
Jumlah 6 Hadits
Berdasarkan kategorisasi hadits-hadits diatas maka ada beberapa hal yang harus kita pahami:
a.       Hadits tentang anjuran mencukur kumis dan jenggot dalam riwayat yang lain ternyata masuk dalam kategori sebagai sunnah fitra. Jika diamati dari susnan hadits tersebut sunah fitarah pada dasarnya mengandung pesan untuk menjaga dan memelihara tubuh dari wabah penyakit. Hal ini tampak jelas ketika Zaghlul An-Najjar dalam bukunya pembuktian sains dalam sunnah menjelaskan bahwa anjuran berkhitan misalnya, khitan dianjurkan karena pada alat klamin laki-laki terdapat kulup yang merupakan bagian ujung dari alat kelamin tersebut. Kulup pada alat kelamin jika tidak di khitan akan menimbulkan menggumpalnya kotoran-kotoran, bakteri, amoeba dan jamur diantara pucuk kemaluan dan kulit yang menutupinya, yang kemudian bisa berakibat fatal pada fungsi alat kelaminseperti mandul dan sebagainya.[16]
Dalam perkara mencukur kumis, mencukur kumis dianjurka karena posisi kumis yang strategis sebagai tempat tumbuhnya bakteri karena kotoran yang melekat padanya misalnya ingus, dahak maupun sisa makanan.[17] Oleh karena itu mencukur atau menipiskan kumis menjadi suatu yang dianjurkan demi terjaganya kesetan dan jauh dari wabah penyakit.
b.      Tidak hanya pada sunnah fitarah riwayat ini juga ditemui dengan adanya kategori batasan waktu pada matan hadits tersebut seperti yang dimuat dalam bagan diatas. Salah satu dari riwayat yang mengandung kategori waktu adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam bab thaharah no 379:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ جَعْفَرٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ أَنَسٌ وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Sa'id keduanya dari Ja'far, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin Sulaiman dari Abu Imran al-Jauni dari Anas bin Malik dia berkata, Anas berkata, "Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang)."
Matan hadits ini menegaskan akan batasan waktu dimana seseorang harus mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan sebelum empat puluh hari. Penegasan ini lagi-lagi mengisyaratkan akan pentingnya menjaga kebersihan karena jika bulu ketiak, bulu kemaluan misalnya tidak dicukur akan menimbulkan bau yang kurang sedap. Hal ini dikarenakan ketiak-sebagaimana daerah kemaluan merupakan daerah yang banyak mengeluarkan keringat dan memproduksi minyak.[18] Tentunya akan menimbulkan berkembangnya bakteri dan berbagai penyakit lainnya akan dengan mudah tumbuh. Maka jelaslah anjuran memotong dan batasan waktu mengandung pesan agar kita peka terhadap kebersihan dan kesehatan tubuh kita, serta sekaligus mengingatkan kita agar tetap memperhatikan hal-hal kecil yang kemudian bisa berdampak negatif jika tidak diperhatikan dengan baik.
c.       Problematika jenggot dan kumis juga merambak pada aspek golongan, yang dalam matan haditsnya sering menggunakan lafadz khalifu, atau khalifuhum atau bentuk lain yang mengandung arti pembeda, perbedaan dan lainnya. Salah satu dari hadits yang mengandung makna pembeda yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori           nomor 5442:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian." Sedangkan apabila Ibnu Umar berhaji atau Umrah dia memegang jenggotnya dan memotong selebihnya."
Dari hadits ini memberikan informasi bahwa hadits ini harus dipahami sesuai dengan konteksnya, karean dalam historisnya masa rasulullah adalah masa di mana kaum muslim dan non muslim saling bersinggungan juga akrab dengan peperangan. Oleh karena itu hal-hal yang menjadi pembeda sangat diperhatikan. Jadi kita perlu melihat menempatkan hadits ini pada proporsinya sehingga tidak terjadi kesalahn dalam mengamalkan sunnah-sunnah beliau.












BAB III
PENUTUP
Paparan di atas dapat kita ambil sebuah pemahaman bahwa dalam memahami teks yang dalam hal ini adalah hadits tentang mencukur kumis dan memelihara jenggot perlu adanya kajian yag lebih baik dari analisis internal hadits; dari aspek variansi kata dan muatan matan serta variansi matannya atau eksternal; kronologi dan sosio historisnya. Kumis dan jenggot pada tataran historisnya menjadi pembeda antara kaum muslim dan non muslim juga pembeda dengan kaum majusi pada masa nabi Ibrahi. Pada aspek yang lain hadits ini juga termasuk dalam kategori kebersihan. Perlunya menjaga kebersihan tubuh dari tumbuhnya berbagai penyakit yang memungkinkan karena kelalaian kita terhadap kebersihan tubuh kita seperti halnya mencukur kumis, bulu kemaluan dan bulu ketiak dan juga memelihara jenggot bisa dimaknai sebagai anjuran untuk memberikan perhatian atas keseterilannya.
Jelasnya anjuran mencukur kumis dan jenggot pada ibadah haji merupakan isyarat bahwa tidak ada larangan untuk memotong jenggot, hanya saja pada konteks terentu kumis dan jenggot dimaknai sebagai symbol yang harus diperhatikan. Akan tetapi jika konteks yang berbeda dapat menghilangkan makna dari symbol tersebut maka harus dipahami hadits itu pada makna dasarnya. Jadi penulis menarik kesimpulan hadits ini lebih menekankan kebersihan jika di kontekstualisasikan pada masa sekarang. Karena makna symbol kumis dan jenggot sebagaipembeda ternyata pada masa sekarang bukan jadi mekna pembeda lagi. Oleh karena itu hadits ini pada konstek munculnya dan dimunculkan kembali atau kontekstualisasinya hanya pada tataran kebersihan.



[1] Djamhari Ma’ruf, Iradikalisme islam di Indonesia: fenomena sesat? Dalam bahtiar effendi dan soe trisno hadi(ed), agama dan radikalisme, hlm. 45.
[2] Tim departemen agama RI, tafsir al-Qur’an tematik: hubungan antara umat beragama (Jakarta: departemen agama RI, 2008), cet. 1, hlm. Xii.
[3] CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah
[4] CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah
[5] Al-Muzzi, Tahdzib Al-Kamal (Dar- Al-Fikri), juz 13, hlm. 107
[6] Ibnu Atsar Al-Huzri, Asdul Qobah (Dar Al-Ma’rifah, 1997) juz 2, hlm. 609
[7] Ibnu Hajar Al-Asqalani (Dar Al-Fikri) Juz 2, hlm. 415
[8] Al-Mizzi, juz 18, hlm. 205
[9] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Garafindo, 19995), hlm. 59-60
[10] Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadits (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm.48.
[11] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 44.
[12] CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah
[13] Maktabah Syamilah, Lisan al-Arab, Bab Hufa, Juz 14. hlm.186.
[14] Maktabah Syamilah, Fath al-Barri, Bab Qassu al-Syarib. Juz 16, hlm. 479.
[15] Maktabah Syamilah, Syarh Nawawi’ala Muslim, Bab Khushal al-Fithrah. Juz 1, hlm. 416.
[16] Jaghlul an-najjar, pembuktian sains dalam sunnah (jakarta: amzah, 2006) hlm. 182.
[17] Jaghlul an-najjar, hlm. 190
[18] Jaghlul an-najjar, hlm. 186