BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan Hadits merupakan pegangan pokok yang menjadi rujukan
dalam menjawab semua problematika kehidupan, baik yang bersifat ibadah maupun
muamalah. Akan tetapi, mengetahui dalil dan dasar-dasar keagamaan yang
bersumber dari teks al-Qur’an dan hadits belum cukup untuk menjawab
problematika yang timbul dalam masyarakat, karena sifatnya yang dinamis dari
masa ke masa. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman yang tepat terhadap
teks-teks keagamaan, dengan mengamati konteks ketika hadits tersebut muncul dan
konteks di mana hadits itu dimunculkan kembali sebagai respon terhadap
problematika yang timbul dalam masyarakat.
Dalam menafsirkan teks-teks keagamaan setidaknya ada dua bentuk
yang berbeda dalam tataran perakteknya; pertama skipturalistik yang
lebih berorientasi pada teks-teks doktrin dan kedua bersifat subtansi
–alistik yang berorientasi pada makana dan isi atau konteks.[1]
Keduanya tentu sangat perlu diperhatikan dalam memahami teks keagamaan seperti
al-Qur’an dan Hadits untuk meminimalisir kekeliruan dan kesalahan dalam
menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kekeliruan dan kesalahan dalam
pemahaman teks dapat menyebabkan orang bersifat eksklusif dan berpotensi
menimbulkan konflik, yang pada akhirnya akan menggangu stabilitas kerukukan
umat beragama,[2]
seperti dalam memahami hadits tentang memelihara jenggot dan mencukur kumis.
Hadits ini sering sekali menjadi perdebatan karena perbedaan sudut pandang yang
ahirnya menimbulkan konflik baik alam internal islam maupun eksternal. Oleh
karena itu perlu kiranya ada pemahaman yang mendasar tidakhanya pada makna
harfiah akan tetapi harus menggali makna subtansinya.
BABII
PEMBAHASAN
A.
Teks
hadits dan terjemahnya
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ عَلْقَمَةَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُعْفَى اللِّحَى وَأَنْ تُجَزَّ الشَّوَارِبُ و
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَلْقَمَةَ
Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Abdurrahman bin 'Alqamah aku mendengar Ibnu Umar berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kalian untuk
membiarkan jenggot dan mencukur kumis." Dan Abdullah bin Al Walid berkata;
Telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin 'Alqamah."(HR. ahmad 4892)
B.
Takhrij
dan tahqik al-Hadits
Hadit ini juga diriwayatkan oleh imam hadits yang lain, sebagai
berikut:
No
|
Nama perawi
|
Nama Bab
|
Nomor hadits
|
1
|
Bukhori
|
Libas
|
5438
|
2
|
Muslim
|
Thaharah
|
380, 381
|
3
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2687, 2688
|
4
|
Nasa’i
|
*Thaharah **al-Ziinah
|
*12, 15
**4959, 4960
|
5
|
Abu Daud
|
At- Tarajil
|
3667
|
6
|
Malik
|
Al- Jaam’u
|
1488
|
Untuk menentukan kualitas hadits diatas perlu adanya kajian sanad yang berkaitan bagaimana penilaian para ulama terhadap
riwayat-riwayat para rawi tersebut dan apakah ada ketersambungan antara rawi pertama dan rawi
selanjutnya. Dalam sanad hadits ini ada empat rawi; Abdullah bin 'Umar bin Al-
Khaththab bin Nufail, Abdur Rahman bin 'Abdullah, Sufyan bin Sa'id bin Masruq
dan Mu'ammal bin Isma'il . untuk memperoleh ketersambungan atau keterkaitan
sanad-sanad diatas maka perlu kajian atas biografi yang meliputi nama, kota
tinggal tahun lahir dan wafat dan segala aspek yang memberikan informasi
tentang ketersambungan antara sanad pertama dan yang lainnya. Adapun penjabarannya sebagi berikut:
1. Abdullah bin 'Umar bin Al- Khaththab bin Nufail
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin 'Umar bin Al
Khaththab bin Nufail beliau termasuk kalangan shahabat dan kuuniyahnya adalah
Abu 'Abdur Rahman, semasa hidup beliau menetap di Madinah. Abu 'Abdur Rahman
wafat pada tahun 73 H. Dalam periwatannya para ulama seperti Ibnu Hajar Al
Atsqalani dan Adz Dzahabi mengomentari
beliau sebagai Shahabat yang dalam artian tidak perlu dipertanyakan ke-Tsiqohannya karena
menerut ulama hadits kullu shahabatil-‘udul.
2. Abdur Rahman bin 'Abdullah
Nama lengkap
beliau Abdur Rahman
bin 'Abdullah jika dikategorikan beliau trmasuk kalangan Tabi'in kalangan biasa. Semasa hidupya menetap di Marur Rawdz. Beberapa komentar ulama terhadapnya pertama An Nasa'I menilai beliau sebagai rawi yang Tsiqah kedua Al 'Ajli
dengan komentar yang sama yaitu Tsiqah begitu juga yang ketigaIbnu Hajar al 'Asqalani menilai bliau rawi yang Tsiqah.
3. Sufyan bin Sa'id bin Masruq
Nama lengkap
rawi ini adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq Kalangan Tabi'ut Tabi'in kalangan tua. Beliau dijuluki Abu 'Abdullah. Semasa hidupnya beliau menetap di kota Kufah sampai ahirnya
beliau wafat pada tahun 161 H. Beberapa
komentar tentang periwayatan beliau; Malik bin anas
menilai beliau Tsiqah senada
dengan Yahya bin Ma'in dan Ibnu Hibban
mengatakan beliau termasuk dari para huffad mutqin.
Komentar yang juga hampir mirip di lontarkan Ibnu Hajar al 'Asqalani beliau menilai Sufyan bin Sa'id bin Masruq
sebagai seorang yang tsiqah, hafidz
juga faqih.
4. Mu'ammal bin Isma'il
Mu'ammal bin Isma'il
beliau berasal dari kalangan tabi'ut tabi'in kalangan biasa.
Beliau dijuluki Abu 'Abdur Rahman. Beliau
menetap dkota Bashrah hingga beliau wafat
pada tahun 206 H. Beberapa komentar terhadap periwatan beliau
diantaranya; Yahya bin Ma'in dengan
penilaian tsiqah, Al-Bukhari
menilai beliau mungkarul hadits dan Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat.
Dari data-data di atas kita memperoleh imformasi mengenai para rawi
baik berupa kualitas rawi berdasarkan penilaian para ulama juga kemungkinan
bertemunya antara rawi yang satu dengan rawi yang lainnya. Dari keseluruhan
penilaian para ulama terhadap rawi-rawi dalam sanad hadits di atas, sanad
hadits ini termasuk kategori hasan karena para ulama condong menilai rawi
dengan derajat tsiqoh walaupun terdapat satu komentar yang menilai Mu'ammal bin Isma'il dengan munkar al-hadits. Jika diamati dari segi kurun waktu jarak
tahun wafatnya hanya pada kisaran 40-50 tahun. Jadi sangat memungkinkan rawi
yang pertama, kedua, ketiga dan keempat saling bertemu.
C.
Analisis
teks hadits dan kontekstualisasinya
Anjuran untuk memelihara jenggot dan mencukur
kumis perlu dikaji lebih dalam lagi untuk menentukan pesan moral apa yang
terkandung dalam hadits tersebut. Menganalisa adalah jalan yang dianggap lebih
tepat dalam mengambil kesimpulan karena analisis
ialah penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan memilah-milah
antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain agar mendapatkan
kejelasan suatu masalah. Oleh karena itu dalam kajian hadits ini perlu
ada anilisa yang tepat baik secara lafadz maupun sturuktur atau susunan
kalimatnya serta kronologis yang membentuk sebuah hadits yang disebut sebagai asbabul
wurud dalam kajian hadits baik makro ataupun mikro.
Dalam menganalis hadits tentang memelihara jenggot
dan mencukur kumis perlu rasanya melihat riwayat yang setema dengan hadits
diatas kemudian mengelompokkan hadits-hadits tersebut sesuai dengan bentuk
kesamaan yang terdapat dalam matan hadits tersebut. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam mengambil sebuah kesimpun yang nantinya akan
melahirkan sebuah makna baru. Oleh karena
itu pada tahap analisis teks dan kontekstualisasi teks hadits ini akan di bagi
dalam beberapa kategori:
1.
Hadits-hadits
satu tema
Dalam penelusuran yang penulis lakukan dengan bantuan perangkat
computer CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah pencarian
hadits berdasarkan tema kandungan Hadits
dengan metode Takhrij al-Hadits bi al-Alfadz.
Untuk memudahkan pencarian di gunakan kata kunci الشوارب dan الشارب. setelah dilakukan pemilahan terhadap
hadits-hadits tersebut maka penulis menemukan 86 hadits bertemakan jenggot
maupun kumis. Dengan kata as-Syawarib ditemukan 24 hadits, sedangkan dengan
kata as-Syarib, ditemukan 59 Hadits. Adapun rincian hadits-hadits tersebut sebagai
berikut:
No
|
Nama rawi
|
No hadits
|
jumlah
|
1
|
Bukhori
|
5438, 5439, 5440, 5441, 5442, 5443, 5823
|
7
|
2
|
Muslim
|
377, 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384,
|
8
|
3
|
Nasa’i
|
9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 4289, 4954, 4955, 4956, 4957, 4958,
4959, 4960, 4961, 5130, 5131
|
18
|
4
|
Abu Daud
|
49, 160, 2407, 3666, 3667, 3668
|
6
|
5
|
Tarmidzi
|
2680, 2681, 2682, 2683, 2684, 2685, 2687, 2688
|
8
|
6
|
Ibnu Majah
|
288, 289,290, 291
|
4
|
7
|
Ahmad
|
2072, 2602, 4425, 4889, 4892, 5074, 5716, 6167, 6287, 6835 6842,
6963, 7479, 8318, 8423, 8430, 8665, 8953, 9945, 11785, 12637, 13183, 17502,17526,
17606, 22382, 23909
|
27
|
8
|
Malik
|
788, 790, 1436, 1437, 1488
|
5
|
2.
Variansi
lafadz dalam matan hadits
Dengan
kata as-Syawarib:
no
|
Bentuk kata
|
Arti kata
|
1
|
أَحْفُوا
|
Potonglah
|
2
|
إِحْفَاءِ
|
Memotong
|
3
|
جُزُّوا
|
Potonglah
|
4
|
حُفُّوا
|
Potonglah
|
5
|
قُصُّوا
|
Cukurlah
|
6
|
انْهَكُوا
|
Habiskanlah
|
7
|
وَخُذُوا
|
Ambillah
|
8
|
تُجَزَّ
|
Memotong
|
9
|
فِّرُوا
|
Tumbuhkanlah
|
10
|
أَعْفُوا
|
Biarkanlah
|
11
|
إِعْفَاءِ
|
Membiarkan
|
12
|
أَوْفُوا
|
Panjangkanlah
|
13
|
أَرْخُوا
|
Biarkanlah
|
14
|
تُعْفَى
|
Membiarkan
|
Dengan kata as-Syarib:
no
|
Bentuk kata
|
Arti kata
|
1
|
قَصُّ
|
Potonglah
|
2
|
يَقُصُّ
|
Memotong
|
3
|
تَقُصُّ
َ
|
Memotong
|
4
|
فَقَصَّ
|
Maka potnglah
|
5
|
أَخْذَ
|
Mengambil
|
6
|
يَأْخُذُ
|
Mengambil
|
7
|
خُذُوا
|
Ambillah
|
8
|
تَقْصِيرُ
|
memendekkan
|
Dalam lisan al-arab di jelaskan
bahwa kata أَحْفُوا, إِحْفَاءِ, حُفُّوا berarti memotong. Dikatakan juga didalamnya, bahwa di dalam
kitab al-Tahdzib bahwa perintah memotong tersebut dengan melekatkan potongan
atau berarti menghabiskan. Dari
pemetaaan kata-kata diatas jelas bahwa semua hadits menunjukkan bahwa nabi
Muhammad memerintahkan untuk memotong, mencukur dan membersihkan kumis. Namun
dalam redaksi as-Syarib ditemukan perintah untuk hanya memendekkan. Dalam Kitab
Fath al-Bari disebutkan bahwa dari semua variasi pemakaian kata قُصُّوا, جُزُّوا dan أَحْفُوا dan lainnya yang
digunakan, menunjukkan tujuan الْإِزَالَة (menghilangkan). Sebaliknya
Nabi memerintahkan untuk menumbuhkan memelihara dan membiarkan jenggot itu
tumbuh. Kata أَوْفُوا, أَعْفُوا dan sebagainya. Bermakna sama yaitu untuk tidak dicukur اُتْرُكُوهَا وَافِيَة
كَامِلَة لَا تَقُصُّوهَا [dibiarkan]
namun dalam bebrapa literatur menunjukkan untuk memeliharanya.
3.
Variansi
Hadits berdasarkan makna;
Al-fithrah
No
|
Nama perawi
|
Nama Bab
|
Nomor hadits
|
1
|
Bukhori
|
Libas *al-
Isti’dzan
|
5438, 5439, 5440,
5441, *5823
|
2
|
Muslim
|
Thaharah
|
377, 378, 384
|
3
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2680, 2681
|
4
|
Nasa’i
|
Thaharah *al-Ziinah
|
9, 10, 11,
12, *4954, 4955, 4956, 4957, 4958, 5130
|
5
|
Abu Daud
|
At- Tarajil *Taharah
|
*3666, *49
|
6
|
Ibnu Majah
|
Taharah
wasunanuha
|
288, 289, 290
|
7
|
Ahmad
|
Baqi musnad
al-maktsarin
*Awwalu
musnad al-Kufiyin
|
4889, 5716,
6842, 6963, 7479, 8953, 9945, 23909 *17606
|
8
|
Malik
|
Al- Jaam’u
|
1436
|
Jumlah 35 Hadits
Tanda * sbagai pembeda bab.
Akhfuu/ ikhfa’u
no
|
Nama perawi
|
Nama bab
|
Nomor hadits
|
1
|
Muslim
|
Taharah
|
380, 381, 382
|
2
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2687, 2688
|
3
|
Nasa’i
|
Taharah *al-Ziinah
|
15 *4959,
4960, 5131
|
4
|
Abu Daud
|
Al-Tarajil
|
3667
|
5
|
Ahmad
|
Musnad
limaktsarin
|
4425, 5074,
6167
|
6
|
Malik
|
al-jaam’u
|
1488
|
Jumlah 14 Hadits
Kholifuhum /kholifu
no
|
Nama perawi
|
Nama bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Bukhori
|
Libas
|
5442
|
2
|
Muslim
|
Thaharah
|
382, 383
|
6
|
Ahmad
|
Baqi musnad
limaktsarin
|
8318
|
Jumlah 4 hadits
Batasan waktu dan kadar kumis
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Muslim
|
Thaharah
|
379
|
2
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2682, 2683
|
3
|
Nasa’i
|
Thaharah
|
14
|
4
|
Abu Daud
|
Thaharah *Al-Tarajil
|
160 *3668
|
5
|
Ibnu Majah
|
Taharah
wasunanuha
|
291
|
6
|
Ahmad
|
Baqi musnad
limaktsarin *musnad al-Kufiyin
|
11785, 12637,
13183, *17502,17526
|
Jumlah 12 Hadits
Mencukur pada saat haji atau umrah
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Malik
|
Haji
|
788, 790
|
Jumlah 2 hadits
Golongan
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2685,
|
2
|
Nasa’i
|
thaharah *
ziinah
|
13 *4961
|
3
|
Ahmad
|
Baqi musnad
al-maktsarin
|
22382
|
Jumlah 4 Hadits
Berkaitan dengan hewan kurban
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Abu Daud
|
Addhahaaya
|
2407
|
2
|
Nasa’i
|
Addhahaaya
|
4289
|
3
|
Ahmad
|
Musnad al-Muktsirin min al-Shahabat
|
6287
|
Jumlah 3 Hadits
Nabi Ibrahim
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Tarmidzi
|
Adab ‘an
Rasulillah
|
2684
|
2
|
Ahmad
|
Musnad Bani
Hasyim
|
2602
|
3
|
Malik
|
Al- Jam’u
|
1437
|
Jumlah 3 Hadits
Secara langsung
No
|
Nama Perawi
|
Nama Bab
|
Nomor Hadits
|
1
|
Bukhori
|
Libas
|
5443
|
2
|
Ahmad
|
Baqi musnad
al-maktsarin
|
4892, 6835,
8423, 8430, 8665
|
Jumlah 6 Hadits
Berdasarkan kategorisasi hadits-hadits diatas maka ada beberapa hal
yang harus kita pahami:
a. Hadits tentang anjuran mencukur kumis dan jenggot dalam riwayat yang lain
ternyata masuk dalam kategori sebagai sunnah fitra. Jika diamati dari susnan
hadits tersebut sunah fitarah pada dasarnya mengandung pesan untuk menjaga dan
memelihara tubuh dari wabah penyakit. Hal ini tampak jelas ketika Zaghlul
An-Najjar dalam bukunya pembuktian sains dalam sunnah menjelaskan bahwa anjuran
berkhitan misalnya, khitan dianjurkan karena pada alat klamin laki-laki
terdapat kulup yang merupakan bagian ujung dari alat kelamin tersebut. Kulup
pada alat kelamin jika tidak di khitan akan menimbulkan menggumpalnya
kotoran-kotoran, bakteri, amoeba dan jamur diantara pucuk kemaluan dan kulit
yang menutupinya, yang kemudian bisa berakibat fatal pada fungsi alat
kelaminseperti mandul dan sebagainya.
Dalam perkara mencukur kumis, mencukur kumis dianjurka karena posisi kumis
yang strategis sebagai tempat tumbuhnya bakteri karena kotoran yang melekat
padanya misalnya ingus, dahak maupun sisa makanan.
Oleh karena itu mencukur atau menipiskan kumis menjadi suatu yang dianjurkan
demi terjaganya kesetan dan jauh dari wabah penyakit.
b. Tidak hanya pada sunnah fitarah riwayat ini juga ditemui dengan adanya
kategori batasan waktu pada matan hadits tersebut seperti yang dimuat dalam
bagan diatas. Salah satu dari riwayat yang mengandung kategori waktu adalah
hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam bab thaharah no 379:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَقُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ جَعْفَرٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ أَنَسٌ وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ
وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Sa'id
keduanya dari Ja'far, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin
Sulaiman dari Abu Imran al-Jauni dari Anas bin Malik dia berkata, Anas berkata,
"Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat
puluh malam (sehingga tidak panjang)."
Matan hadits ini menegaskan akan batasan waktu dimana seseorang harus
mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan
sebelum empat puluh hari. Penegasan ini lagi-lagi mengisyaratkan akan
pentingnya menjaga kebersihan karena jika bulu ketiak, bulu kemaluan misalnya tidak
dicukur akan menimbulkan bau yang kurang sedap. Hal ini dikarenakan
ketiak-sebagaimana daerah kemaluan merupakan daerah yang banyak mengeluarkan
keringat dan memproduksi minyak.
Tentunya akan menimbulkan berkembangnya bakteri dan berbagai penyakit lainnya
akan dengan mudah tumbuh. Maka jelaslah anjuran memotong dan batasan waktu
mengandung pesan agar kita peka terhadap kebersihan dan kesehatan tubuh kita,
serta sekaligus mengingatkan kita agar tetap memperhatikan hal-hal kecil yang
kemudian bisa berdampak negatif jika tidak diperhatikan dengan baik.
c. Problematika jenggot dan kumis juga merambak pada aspek golongan, yang
dalam matan haditsnya sering menggunakan lafadz khalifu, atau khalifuhum atau
bentuk lain yang mengandung arti pembeda, perbedaan dan lainnya. Salah satu
dari hadits yang mengandung makna pembeda yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
nomor 5442:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ
أَخَذَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar
bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah
jenggot dan cukurlah kumis kalian." Sedangkan apabila Ibnu Umar berhaji
atau Umrah dia memegang jenggotnya dan memotong selebihnya."
Dari hadits ini memberikan informasi bahwa hadits ini harus
dipahami sesuai dengan konteksnya, karean dalam historisnya masa rasulullah
adalah masa di mana kaum muslim dan non muslim saling bersinggungan juga akrab
dengan peperangan. Oleh karena itu hal-hal yang menjadi pembeda sangat
diperhatikan. Jadi kita perlu melihat menempatkan hadits ini pada proporsinya
sehingga tidak terjadi kesalahn dalam mengamalkan sunnah-sunnah beliau.
BAB III
PENUTUP
Paparan di atas dapat kita ambil sebuah pemahaman bahwa dalam
memahami teks yang dalam hal ini adalah hadits tentang mencukur kumis dan
memelihara jenggot perlu adanya kajian yag lebih baik dari analisis internal
hadits; dari aspek variansi kata dan muatan matan serta variansi matannya atau
eksternal; kronologi dan sosio historisnya. Kumis dan jenggot pada tataran
historisnya menjadi pembeda antara kaum muslim dan non muslim juga pembeda
dengan kaum majusi pada masa nabi Ibrahi. Pada aspek yang lain hadits ini juga
termasuk dalam kategori kebersihan. Perlunya menjaga kebersihan tubuh dari
tumbuhnya berbagai penyakit yang memungkinkan karena kelalaian kita terhadap
kebersihan tubuh kita seperti halnya mencukur kumis, bulu kemaluan dan bulu
ketiak dan juga memelihara jenggot bisa dimaknai sebagai anjuran untuk
memberikan perhatian atas keseterilannya.
Jelasnya anjuran mencukur kumis dan jenggot pada ibadah haji
merupakan isyarat bahwa tidak ada larangan untuk memotong jenggot, hanya saja
pada konteks terentu kumis dan jenggot dimaknai sebagai symbol yang harus
diperhatikan. Akan tetapi jika konteks yang berbeda dapat menghilangkan makna
dari symbol tersebut maka harus dipahami hadits itu pada makna dasarnya. Jadi
penulis menarik kesimpulan hadits ini lebih menekankan kebersihan jika di
kontekstualisasikan pada masa sekarang. Karena makna symbol kumis dan jenggot
sebagaipembeda ternyata pada masa sekarang bukan jadi mekna pembeda lagi. Oleh
karena itu hadits ini pada konstek munculnya dan dimunculkan kembali atau
kontekstualisasinya hanya pada tataran kebersihan.