ASSALAMU'ALAIKUM

Sabtu, 19 Oktober 2013

Urgensi Pendekatan Budaya dalam Pemahaman Alquran

I. Pendahuluan
Alquran diturunkan secara faktual dalam dimensi ruang dan waktu yang berlatar belakang kehidupan bangsa Arab di abad ke-7 M. Sebagai petunjuk [hudâ], tekstualitas Alquran menjadi respon sekaligus solusi bagi kompleksitas tradisi dan permasalahan masyarakat Arab di zaman itu yang masih relatif sederhana dalam pola pikir dan teknologi. Adapun secara kontekstual, Alquran jelas ditujukan bagi segenap disparitas ruang dan waktu umat manusia, terlepas dari apapun kondisi geografis dan sosiologis-kultural yang mengitarinya.
Keterikatan Alquran dengan aspek sosio-kultural dalam sejarah kehidupan manusia merupakan fenomena yang sangat unik. Sebagai sebuah wahyu, pada hakikatnya sudah pasti Alquran menjadi sakral dan transendental, tidak terjamah oleh segala bentuk pengaruh kesejarahan. Namun, secara faktual dibuktikan dalam sejarah betapa Alquran selama proses pewahyuannya telah melakukan dialog dan dialektika dengan kebudayaan manusia. Kita mengenal konsep naskh, makkî-madanî, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya yang mengartikulasikan wujud dialektika itu. Di samping menolak dan memberi alternatif, Alquran juga telah menunjukkan dinamisasinya dalam menyerap, menginternalisasi, dan merekonstruksi begitu banyak konsep-konsep kebudayaan yang dikenal kala itu.
Adanya fenomena ini tentu memberi tempat bagi pengaruh unsur-unsur budaya lokal Arab – sebagai realitas pertama – dalam terbentuknya tekstualitas Alquran, di samping pengaruh nyata kitab suci ini dalam membentuk kebudayaan manusia sejati pada realitas kedua. Aspek lokalitas ini pada gilirannya juga menjadi persoalan krusial bagi umat Islam setelah ditinggalkan oleh pembawa sekaligus mufasir Alquran yang paling otoritatif, yakni Nabi Muhammad saw. Hal ini terlebih disebabkan oleh semakin meluasnya Islam, yang berarti bertambahnya problematika sosial dan budaya yang dihadapi umat.
Uraian berikut menganalisis perlunya sebuah pemahaman Alquran yang apresiatif terhadap perbedaan ruang dan waktu, faktor-faktor alam, kenyataan sosial, iklim politik, dan tradisi budaya yang mengitari umat Islam di sepanjang sejarah dan lokalitas geografisnya. Masing-masing ruang apresiasi itu berakumulasi dan selanjutnya mengartikulasikan pemahaman kontekstual Alquran yang sepanjang sejarahnya selalu dipercaya paling adil terhadap kitab suci itu.
II. Alquran dan Budaya: Sejarah Klasik
Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya Alquran adalah sebuah konsep sederhana yang juga dipahami secara sederhana oleh kaum muslim. Ia adalah kalam [firman] yang baik bahasa dan bentuknya maupun kandungan maknanya secara murni dan simultan diturunkan dari hadirat Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. (Isma’il R. al-Faruqi, 1998: 138).
Secara terfokus, di zaman permulaan Islam Alquran lebih tampak sebagai korpus verbal yang ditransmisikan melalui beberapa ragam cara baca [qirâ’ah] dan cara tulis [rasm]. Sebelum dituangkan ke dalam tulisan, ia merupakan pernyataan lisan; dan hingga sekarang tetap mempertahankan bentuk liturgi lisannya seperti terartikulasi dalam ibadah kunci Islam, yakni ritual shalat, di mana tanpa membaca sebagian dari Alquran maka shalat seseorang dianggap tidak sah . Kompilasi Alquran ke dalam mushaf standar Utsmanî adalah contoh paling populer bagi fenomena ini, di mana kendati bentuknya tertulis namun mushaf itu sangat berkarakter oral, dalam arti ia mencerminkan luasnya ruang keragaman bagi berbagai cara bacaan dan tulisan yang sama-sama diterima dari Nabi Muhammad saw. Bahkan, pengiriman salinan mushaf Utsmanî ke daerah-daerah tampaknya sebagai instrumen pendukung belaka dari kenyataan yang lebih penting dari itu, yakni diutusnya seorang qâri yang bertugas mengajarkan Alquran secara langsung dan verbal pada masing-masing daerah. Semua ini menunjukkan bahwa aspek verbal lebih menandai karakter Alquran yang paling utama dibandingkan aspek visualnya.
Pada penggalan akhir abad ke-2 H/8 M, konsep Alquran mulai dipersoalkan oleh kelompok Mu’tazilah dengan doktrin terkenalnya: Alquran diciptakan [makhluk]. Logikanya cukup sederhana, yaitu apabila Alquran tidak makhluk berarti ia merupakan Tuhan itu sendiri, sedangkan zat Tuhan mustahil dibagi-bagi atau terdiri atas komponen-komponen. Sungguh pun doktrin ini memicu reaksi keras dari arus utama umat Islam, namun posisi politik Mu’tazilah yang sedang di atas angin menjadikan mereka lebih berpeluang untuk melakukan indoktrinasi secara lebih leluasa. Tantangan yang dipelopori oleh kelompok Hanâbilah tidak membuat Mu’tazilah surut dengan doktrin ini, bahkan melalui dukungan penguasa politik, mereka melakukan mihnah [inkuisi] agar semua umat Islam mengakui kemakhlukan Alquran (Umar Hasyim, 1982: 42-44).
Jika menyimak fenomena Mu’tazilah, tercermin dialektika Alquran dengan budaya yang kurang proporsional, di mana dalam kasus ini Alquran direduksi hanya sebatas teks profan yang nota bene merupakan produk budaya Arab abad ke-7 M. Secara politis, diktum ‘Alquran diciptakan’ merupakan justifikasi yang sangat kuat bagi upaya-upaya tafsir politik yang melegitimasi setiap kehendak para penguasa, karena dalam posisinya sebagai makhluk, Alquran tidaklah berbeda dari segala jenis makhluk lain di alam ini yang rentan perubahan dan kebinasaan [fanâ’]. Akan tetapi, Mu’tazilah memiliki alasan tersendiri tentang doktrin ini dengan cara pandang mereka yang khas rasionalis, seperti doktrin kemahaesaan Tuhan.
Para ulama belakangan baik langsung maupun tidak berusaha melakukan diferensiasi antara Alquran sebagai teks dengan statusnya sebagai firman Tuhan. Ulama spesialis ushûl al-fiqh, misalnya, menetapkan bahwa Alquran adalah nama bagi keseluruhan Alquran dan nama bagi setiap suku atau bagian daripadanya. Sementara ulama spesialis ilmu kalam merujuk Alquran sebagai kalam azali yang berdiri pada dzat Allah swt yang senantiasa bergerak [tidak pernah diam] dan tidak pernah ditimpa sesuatu bencana (M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1994: 2).
Pada dasarnya, dialektika Alquran dengan budaya bersifat proporsional, dalam arti teknis bahwa ada bagian-bagian yang saling menyokong atau saling menutupi keterbatasan masing-masing. Alquran memiliki aspek yang terbuka terhadap fenomena dan gerak realitas budaya manusia, serta selalu mengondisikan diri dengannya, seperti ditunjukkan oleh proses pewahyuannya yang mengambil setting sosial-budaya Arab abad ke-7 M. Dalam bahasa yang lebih spesifik, ayat-ayat Alquran diturunkan bukan dalam ruang hampa sejarah, melainkan memiliki latar belakang yang menggambarkan turunnya suatu ayat, seperti adanya peristiwa tertentu yang dihadapi Nabi saw. Oleh karenanya, ayat-ayat itu seolah-olah ikut memecahkan persoalan kasuistik pada masanya, atau minimal memberikan pedoman dan ketetapan bagaimana hukumnya salah satu persoalan di masa pewahyuan tersebut.
Di sini, pengaruh budaya lokal dalam pewahyuan Alquran merupakan bentuk interaksi dan dialektika wahyu dengan realitas yang mengada di zaman itu. Dalam ungkapan teologis, karena wahyu ditujukan sebagai pedoman dan solusi kehidupan, secara pasti gerak realitas yang direspon akan turut mewarnai perwujudannya dalam teks dimaksud. Pengaruh lokalitas yang mewarnai karakter kultural teks ini, jika dilihat secara general, terdiri atas perwujudan teks Alquran dalam bahasa Arab [qur’ânan ‘arabiyyan], penurunannya secara bertahap dan berangsur-angsur [tadarruj], serta tergambarnya realitas kebudayaan pada sistem kognisi bangsa Arab di abad ke-7 M di dalam materi dan struktur teks. Adapun secara spesifik, perwujudan pengaruh tersebut dapat dicandra pada terserapnya tradisi budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan Arab Jahiliyah [mutammimat makârim al-akhlâq], gerak kronologis sejarah dari periode Mekkah ke periode Madinah [makkî wa madani], serta tahapan kondisi antropologis penerimaan bangsa Arab terhadap Alquran dan kenabian Muhammad saw.
Semua implikasi pengaruh lokalitas ini dapat disimak dalam teks Alquran yang sarat makna baik secara material maupun struktural. Sebagai ilustrasi, Fazlur Rahman (1992: 46) menggambarkan perkembangan karakter surat-surat Alquran secara kronologis, bahwa surat-surat Makkiyyah yang turun lebih dahulu pada mulanya sangat pendek namun berisi beban dengan tonggak psikologi yang luar biasa dalam dan kuatnya, serta mengeluarkan letupan-letupan dahsyat laksana gunung berapi. Secara berangsur-angsur, surat-surat yang turun belakangan kemudian menjadi semakin panjang dan meretas jalan ke arah gaya isi ajaran yang lebih lancar dan mudah dipahami pada tataran praktis, sehingga berujung pada surat-surat Madaniyyah yang cukup panjang dengan aturan-aturannya yang semakin detil. Secara sosial, surat-surat Madaniyyah ini menjadi landasan moral dan normatif sekaligus bagi kelahiran kultur dan struktur masyarakat Islam.
Sebalik dari itu, budaya juga memiliki wilayah-wilayah yang berbeda dalam menerima tektualitas Alquran. Hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang distingsi ruang dan waktu, di mana fungsi responsibilitas Alquran lebih bersifat tekstual bagi umat manusia di tanah Arab abad ke-7 M. dan lebih kontekstual bagi mereka yang hidup di luar geografi Arab pada abad-abad yang lebih belakangan. Ada tempatnya di mana Alquran melakukan semacam kultusigrafi kehidupan yang ideal menurut optik Islam. Sebagai contoh, Alquran dalam periode Madinah telah sedemikian banyak ikut campur dalam mengatur sistem kewarisan dalam budaya Arab kala itu, sehingga proporsi aturan-aturan hukumnya jauh lebih besar dari aturan-aturan ritual sekalipun seperti shalat dan puasa. Akan tetapi, ketetapan sistem kewarisan Alquran tidaklah statis dan tidak mengenal kompromi atas berbagai perbedaan sejarah, geografi dan ruang budaya umat manusia, sehingga tidak sedikit pertimbangan-pertimbangan lokal dapat diadopsi dalam keluasan sistem kewarisan itu, seperti yang dapat dicandra dari konsep gono gini atau parpantangan dalam pembagian warisan, atau kebolehan keluarga non muslim menerima wasiat wajibah dari mayit muslim. Hal ini adalah penjabaran belaka dari satu elan dasar Alquran yang menghendaki adanya persamaan esensial manusia yang secara khusus dan tersurat berupa terangkatnya status wanita dalam sistem kewarisan Arab di zaman pewahyuan.
Pada beberapa tempat yang lain, Alquran membiarkan berbagai item budaya tetap eksis, meskipun sebagiannya diberikan sentuhan nilai-nilai universalitas dan humanitas Islam, seperti yang diungkapkan dalam istilah al-ushûl al-khamsah, yakni jaminan Islam atas hak hidup, beragama, berketurunan, kehormatan, dan ekonomi. Inilah misalnya yang terjadi pada tradisi musyawarah, bahwa secara kultural Alquran mempertahankan produk budaya masyarakat Arab Quraisy di masa jahiliyah yang terartikulasi dalam lembaga Dâr al-Nadwah, namun etika musyawarah diatur sesuai ajaran Islam.
Sementara itu, kasus jilbab merepresentasikan motif yang sedikit berbeda, karena Alquran tidak saja mempertahankan item budaya jilbab bersangkutan, tetapi dalam batas-batas tertentu juga mempertahankan artikulasi simboliknya. Hal senada juga terjadi dalam kasus bentuk-bentuk hukuman peradilan seperti qishâsh [eksekusi] yang dapat diganti dengan membayar diyât [tebusan].
Adapun kasus riba menunjukkan proses legislasi Alquran yang graduatif dalam rangkaian dekulturisasi aktivitas-aktivitas tercela pada masyarakat muslim, di mana kendati pernyataan-pernyataan tentang riba sudah dikeluarkan oleh Alquran pada periode Mekkah, ia tidaklah dilarang secara hukum sampai Nabi saw berada di Madinah beberapa waktu lamanya; sama halnya dengan pernyataan-pernyataan aksentuatif tentang perbaikan kondisi kaum miskin yang diberikan sejak awal mula Islam, tetapi hukum-hukum dalam bidang ini – termasuk masalah hukum zakat – belumlah dinyatakan sampai Nabi saw sendiri bermukim di Madinah (Fazlur Rahman, 1995: 17).
Semua yang disebutkan di atas merupakan instrumen penting bagi hajat utama untuk memahami Alquran secara kontekstual dengan maksimalisasi pendekatan budaya. Tindakan memahami tidak selalu berarti menafsirkan, karena ia merupakan aktivitas umum manusia dalam segala level kapasitas dan kualitas moral-religiusnya di hadapan Alquran. Setiap orang yang ingin mengambil manfaat dari kitab suci itu, lalu ia berusaha membaca dan mencerna isinya, berarti ia telah berada dalam tindakan memahami Alquran.
III. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 916), teks adalah kata benda yang memiliki tiga makna: (1) naskah yang berupa; (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan; dan (3) bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya. Sungguh pun terdapat nuansa aksentuatif antara tiga makna di atas, namun Alquran sebagai teks tentunya dapat dipahami dalam ketiga maknanya sekaligus.
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 458) juga mengartikan konteks sebagai: (1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; dan (2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Berdasarkan pengertian ini, kita memahami bahwa di antara teks dengan konteks terdapat ruang perbedaan yang cenderung bersifat diametral.
Sebagai konsep yang dualistik, istilah teks memang antonim kata konteks. Apabila teks merujuk kepada aspek yang artikulatif baik secara lisan dan terutama tulisan, tentunya konteks adalah kebalikan dari itu. Jika teks dapat dipahami langsung apa adanya maka konteks barulah diperoleh setelah adanya analisis. Bahkan, kalau teks cenderung hanya bersifat satu segi [wajh] maka konteks lebih menunjukkan segi yang banyak [wujûh]. Di dalam tradisi ilmu-ilmu Alquran, kita mengenal beberapa pasang konsep yang sedikit banyak dapat menjelaskan dualitas teks-konteks ini. Di antaranya adalah mantûq-mafhûm [yang tersurat-yang tersirat], muthlaq-muqayyad [yang bebas-yang terikat], mujmal-mubayyan [yang global-yang detil], dan muhkam-mutasyâbih [yang jelas-yang samar].
Apa yang dapat dicandra dari fenomena di atas adalah bahwa pembacaan Alquran, dalam arti upaya memahaminya, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kemampuan seseorang dalam memahami kapasitas teks dan konteks yang dikandung oleh kitab suci itu, di mana ia akan memberikan proporsi yang jauh lebih besar bagi pemahaman yang apresiatif terhadap konteks.
Pemahaman kontekstual adalah produktif, dan sebaliknya pemahaman tekstual adalah kontra produktif. Sebab bagaimanapun, keterjebakan di dalam pemahaman tekstual akan mendistorsi fungsi Alquran yang paling utama, yakni sebagai pedoman hidup [hudâ] bagi umat manusia. Hal ini lumrah ditemukan dalam kasus-kasus hukum yang ditetapkan Alquran, seperti yang menyangkut masalah perbudakan, di mana pranata ini ‘terpaksa’ diatur selama ia masih belum bisa dikikis habis dari muka bumi demi mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan implikatif yang jauh lebih besar, sementara Islam sama sekali tidak bertujuan mempertahankan pranata perbudakan tersebut
IV. Ke Arah Pemahaman Kontekstual
Secara historis, pemahaman Alquran yang kontekstual sebenarnya sudah dipraktekkan sejak masa-masa awal Islam di abad ke-1 H. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb ra, misalnya, adalah tokoh sahabat yang tampak paling terkenal dengan ijtihad-ijtihad spektakulernya sebagai akibat dari tuntutan masalah dan keadaan yang sudah berbeda dari zaman Rasulullah saw. Tidak mengherankan bahwa beliau merupakan pelopor dalam tindakan bid’ah hasanah demi kemaslahatan agama dan kehidupan secara umum.
Begitu pula, terobosan-terobosan lain yang dilakukan oleh para mujtahid di masa-masa yang lebih belakangan. Seorang ulama Alquran legendaris, Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w 911 H), bahkan telah menggariskan 15 syarat keilmuan yang mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menafsirkan Alquran, di mana sebagian besarnya merupakan prakondisi, atau bahkan konsekuensi bagi pemahaman yang kontekstual. Ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh calon mufassir tersebut adalah: (1) ilmu kosa kata; (2) ilmu nahwu atau tata bahasa Arab; (3) ilmu sharaf atau etimologi; (4) ilmu al-isytiqâq atau derivasi kata; (5) ilmu al-ma’ânî untuk mengetahui kekhususan suatu redaksi kalimat sehingga dapat dipahami segi maknanya yang tepat; (6) ilmu al-bayân untuk mengetahui kekhususan suatu redaksi kalimat ditinjau dari segi perbedaan maksudnya; (7) ilmu al-badî’ untuk mengetahui bagaimana cara memperindah susunan kalimat; (8) ilmu qirâ’ât; (9) ilmu ushûl al-dîn untuk mengetahui dalil-dalil pembuktian dari Alquran mengenai berbagai masalah yang wajib, mustahil, dan jâ’iz; (10) ilmu ushûl al-fiqh untuk mengetahui prosedur dan kaidah-kaidah pengambilan dalil-dalil hukum dan perumusannya; (11) ilmu asbâb al-nuzûl untuk mengetahui konteks, sasaran, dan maksud yang dikehendaki oleh ayat-ayat Alquran; (12) ilmu nâsikh wa mansûkh untuk mengetahui ayat-ayat yang muhkam daripada ayat-ayat lainnya; (13) ilmu fiqh untuk mengetahui kandungan hukum-hukum Alquran; (14) ilmu hadis untuk mendukung penafsiran ayat-ayat mujmal dan mubham; dan (15) ilmu mawhibah, yang dianugerahkan Allah swt. secara langsung kepada siapa saja yang mengamalkan ilmunya.
Hanya saja, disparitas ruang dan waktu serta problematika yang melingkupi umat kala itu cukup lebar dengan situasi sekarang, sehingga terdapat kesulitan besar bagi kita untuk mengukur dan menilai tradisi tersebut dengan optik situasional zamannya sendiri. Sementara memahami realitas luar dengan optik kita adalah tindakan yang sangat tidak adil, paling jauh yang bisa kita lakukan adalah menghubungkan sejumlah item yang memiliki kesamaan dan kemiripan pada tataran substansi antar kedua masa dan situasi. Inilah mengapa pada masa-masa terakhir, ketetapan klasik Imam al-Suyûthî tersebut dianggap masih kurang jika diterapkan ke zaman sekarang., karena belum mempertimbangkan aspek kekinian yang mempunyai karakter sejarah, sosial, dan budaya berbeda dengan umat-umat tempo dulu. Oleh karena itulah, pendekatan sosiologi, kultural,dan historis menjadi keniscayaan untuk dimiliki oleh mufasir kontemporer.
Sehubungan dengan itu, upaya refleksi dan perumusan kembali pesan-pesan Alquran untuk memenuhi tantangan dan hajat yang berbeda-beda di setiap masa, paling tidak pemahaman kontekstual yang diperlukan mencakup empat komponen berikut: (1) konteks literer Alquran; (2) konteks historis Alquran; (3) konteks kronologis Alquran; dan (4) konteks spasio-temporal dewasa ini (Taufik Adnan Amal, 2003: 152).
Konteks literer Alquran adalah konteks di mana suatu tema atau istilah tertentu muncul di dalam Alquran, mencakup ayat-ayat sebelum dan sesudah tema atau terma itu yang merupakan konteks langsungnya [munâsabah] serta rujukan silang kepada konteks-konteks relevan dalam surat-surat lain [maudhû’î]. Pada batas-batas tertentu, konteks literer juga mencakup penelusuran keragaman tradisi teks [rasm] dan bacaan Alquran [qirâ’ah] yang relevan dengan ayat-ayat yang dicobapahami untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.
Adapun konteks historis Alquran merupakan latar kesejarahan Alquran baik yang bersifat makro maupun mikro. Konteks historis makro adalah latar kesejarahan tidak langsung atau mileu yang berupa situasi masyarakat, agama, adat-istiadat, pranata-pranata, relasi-relasi politik, dan bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia sampai kepada kehidupan Nabi Muhammad saw sendiri, terutama Makkah dan Madinah menjelang dan pada saat pewahyuan Alquran. Sedangkan konteks historis mikro adalah latar kesejarahan langsung teks-teks spesifik Alquran yang direkam dalam apa-apa yang disebut mawâthin al-nuzûl [tempat-tempat turun], sya’n al-nuzûl [situasi turun] dan asbâb al-nuzûl [sebab-sebab turun] Alquran.
Sementara itu, konteks kronologis Alquran adalah sekuensi kronologis pewahyuan bagian-bagian Alquran tentang suatu tema atau istilah tertentu yang akan memperlihatkan bagaimana tema atau terma tersebut berkembang atau ditransformasikan dalam bentangan pewahyuan Alquran selama lebih kurang 23 tahun seirama dengan perkembangan misi kenabian Muhammad saw dan komunitas Muslim. Di dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân, aspek kronologis ini setidaknya telah dicakup oleh ilmu tawârikh al-nuzûl, ilmu al-makkî wa al-madanî dan ilmu al-naskh.
Sedangkan konteks spasio-temporal merupakan konteks ruang dan waktu yang menjadi lahan pengimplementasian gagasan-gagasan Alquran. Di sini, situasi kontemporer harus dianalisis secara cermat terkait berbagai unsur komponennya, sehingga dapat dinilai dan diubah sejauh diperlukan, serta dapat dideterminasi prioritas-prioritas baru untuk implementasi nilai-nilai Alquran secara segar dan bermakna.
Dengan mengadopsi pemahaman atas keempat item kontekstualitas Alquran di atas, sesungguhnya secara tidak langsung kita telah mendekati kitab suci Alquran secara budaya. Sebab, setiap item yang berperan sebagai konteks Alquran di atas tidak lain daripada sebuah lokus budaya yang penuh dinamika. Kita melihat paling tidak bahwa konteks literer Alquran berada di wilayah sastra dan kebahasaan; konteks historis Alquran berada di wilayah sosiologi, antropologi, dan geografi; konteks kronologis Alquran berada di wilayah sejarah dan arkeologi; konteks spasio-temporal dewasa ini tetap sangat bergantung pada kualitas kajian-kajian keilmuan, kemasyarakatan, dan kebudayaan dalam artinya yang lebih spesifik.
V. Penutup
Elan dasar Alquran – tentunya pada tataran horizontal – adalah penekanan pada keadilan sosial-ekonomi dan persamaan esensial manusia. Di dalam bahasa tasawuf, akumulasi akhlak yang diusung oleh Alquran itu tersimpul dalam dua ungkapan, yakni ‘pemurah’ dan ‘peramah’. Ini artinya, apapun legislasi dan aturan moral-spiritual yang digariskan oleh Alquran tidak akan keluar daripada kedua élan dasar tersebut. Karakter “pembebasan” yang dikandung oleh ayat-ayat dan surat-surat Makkiyyah tidaklah berbeda secara prinsipil dengan kandungan ayat-ayat dan surat-surat Madaniyyah, kendati jelas ditemukan materi dan struktur redaksionalnya yang berbeda tajam.
Masalah yang seringkali muncul sepanjang sejarah pembumian Alquran berupa terciptanya endapan-endapan pemahaman dan interpretasi – dalam bentuk dan motif apapun – yang menutupi élan dasar itu, memang berkonsekuensi pada kenyataan bahwa solusi-solusi yang dieksplorasi dari kandungan Alquran menjadi kering dan dangkal, tidak menyentuh semangat keadilan dan persamaan. Oleh karena itu, paling tidak, pendekatan budaya yang diadopsi dalam pemahaman kontekstual Alquran ini turut berperan dalam meminimalisasi kekeringan dan kedangkalan eksploratifnya.
Daftar Pustaka
dikutip dari : http://banjarhulu.wordpress.com/2012/04/25/urgensi-pendekatan-budaya-dalam-pemahaman-alquran/
Abdurrahman, Moeslim, Semarak Islam Semarak Demokrasi?, 1996, Jakarta, Pustaka Firdaus.
Amal, Taufik Adnan, “Dialektika Agama dan Pluralitas Budaya Lokal; Suatu Tawaran Pendekatan Kontekstual” dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, 2003, Surakarta, PSB PS UMS.
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, 1998, Bandung, Mizan.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, 1994, Jakarta, Bulan Bintang,
Hasyim, Umar, 1982, Apakah Anda termasuk Golongan Ahlus Sunnah Waljamaah?, Surabaya, Bina Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Minggu, 13 Oktober 2013

KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS (Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)



A. Pendahuluan
Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an.[1]
Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an.[2]
Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits.
Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh Islam) itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.
B. Pengertian Kritik dan Orientalis
Dua kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari sinilah, penulis merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan yang lain.
“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas.[3] Secara terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan kritik dan kecaman.[4]
Yang dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/ mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak tampak.
Karena itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan cermat tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang sesuai. Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits.
Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[5] Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.[6] Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.[7]
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.[8]
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur serta kesustraannya.[9] Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang nonmuslim.[10]
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.[11]
C. Kritik Orientalis terhadap Hadits
1. Biografi ketiga orientalis
a. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.”
Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.
Ketika di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.[12]
b. Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.[13]
c. Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.[14]
2. Pemikiran dan kritik ketiga orientalis tentang otentisitas hadits Nabi.
a. Ignaz Goldziher
Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.[15]
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.[16]
Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.[17]
Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.[18]
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[19]
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang. [20]
Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
b. Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.[21]
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam poin:[22]
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.[23]
c. Jyunboll
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis. [24]
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.[25]
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.[26]
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.
Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang yang membacanya.
D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.[27]
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.[28]
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.[29]
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.[30]
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.[31]
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.[32]
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.[33]
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.[34]
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3. Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.[35]
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
KESIMPULAN
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
REFERENSI
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt..
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.
M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.

[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
[2] Ibid.,
[3] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155.
[4] Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443.
[5] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, hal. 408.
[6] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51.
[7] M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 548.
[8] Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[13] Ibid.,
[14] .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
[15] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 88.
[16] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.
[17] Wahyudin,.....hal. 88.
[18] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist...
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,
[22] M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233.
[23] Wahyudin, Hadits di mata Orientalis.......hal. 108-109.
[24] Khoirul Asfiyak, Otentisitas hadits di mata Orientalist…
[25] Ibid.,
[26] .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
[27] Khoirul Asfiyak,……
[28] Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Ibid.,
[33] Ibid.,
[34] Ibid.,
[35] Ibid.,