A. Pendahuluan
Hadits
Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang
paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung
dalam al-Qur’an.[1]
Dalam
hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.
Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata
dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala
sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam
al-Qur’an.[2]
Oleh
karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak
musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji
dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar
validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan
kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya
sebagaian dilakukan oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam
untuk meragukan kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits
yang ada dalam kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah
sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki
kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam
mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan
utama kegiatan orientalis dalam mengkaji hadits.
Yusuf
Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh Islam) itu terdiri
dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid
termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka
peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3
nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu
adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola
pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.
B. Pengertian Kritik dan Orientalis
Dua
kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia sudah
tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa asing.
Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang
menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya
terjadi misundestanding antara nara sumber dan penerimanya.
Dari sinilah, penulis merasa perlu memposisikan pengertian dua kata
tersebut sebelum pembahasan yang lain.
“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam, pengkritik, pengupas, pembahas.[3] Secara
terminologi, kritik berarti upaya-upaya untuk menemukan kesalahan, atau
menurut versi W.J.S. Purwodarminto mengkritik diartikan dengan “memberi
pertimbangan dengan menunjukkan yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa
Arab adalah “naqd” yang diterjemahkan dengan kritik dan kecaman.[4]
Yang
dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/
mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan
daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita
ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak tampak.
Karena
itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan cermat
tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang sesuai.
Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik
hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan
mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan
menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits.
Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.[5] Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur.[6] Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.[7]
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub
menyatakan bahwa orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal
ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama
Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada khususnya, tentang
kebudayaannya, agamanya, peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.[8]
Dan
dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau
ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah
ia muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang
ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai
orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis
adalah semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa
Timur serta kesustraannya.[9]
Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya membatasi
pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika) yang
nonmuslim.[10]
Jadi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis adalah
segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia
Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap
agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.[11]
C. Kritik Orientalis terhadap Hadits
1. Biografi ketiga orientalis
a. Ignaz Goldziher
Ignaz
Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu
Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria. Ia berasal dari
keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budhapest
kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke
Universitas Leipzig.
Goldziher
dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu
Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher
memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan
karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.”
Ia
kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di
Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama mengajar, dan lalu
meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia mengadakan
perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di
Kairo.
Ketika
di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab,
khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat menjadi profesor
kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat cerdas. Pada usia 16 tahun,
ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa
Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan
ulasannya. Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh
Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher
banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof.
Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada
halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan
pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih
Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena
hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.[12]
b. Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia
mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik,
teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun
1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan
menjadi guu besar pada 1929. Schacht menjadi dosen di Universitas
Frayburg, Jerman. Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di
Universitas Kairo, Mesir.
Di
Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di jurusan
Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga
1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah
dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Di
Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan
memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun
1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di
kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi
guru besar di Universitas Leiden sampai 1959. Ia dengan kawan-kawannya
mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.[13]
c. Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya
antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion
in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection
on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology
Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great
Fitna.
Sejak
di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu gigih
mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap otentifikasi
hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan
perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits
klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition Literature,
adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya terhadap
pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah hadits.[14]
2. Pemikiran dan kritik ketiga orientalis tentang otentisitas hadits Nabi.
a. Ignaz Goldziher
Untuk
memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang hadits adalah hal yang
tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan begitu saja apa yang ia
uraikan dalam Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890
dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R. Barber dan
S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.[15]
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies,
dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil
perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang
keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang
menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa
dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam
pada masa kematangan”.[16]
Karena buku itu (Muhammadanische Studies),
dianggaplah ”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa
Yaqub mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan
cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya
dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di
kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai orang
pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits yang telah
diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda dengan keyakinan
yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga untuk disimak, A.J.
Wensick dalam The Importance of Tradition for Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.[17]
Terlepas
dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah bahwa ternyata
Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist dengan dilengkapi
studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang dalam konsep Islam
merupakan Corpus yang berisikan perkataan, perbuatan ataupun taqrir
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw. menurut Goldziher tidak
lebih sekedar catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama,
sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak
mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari
Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak
dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas
hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis
tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang
diedarkan pada fenomena-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan
Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada
sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang
dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri
mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.[18]
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.[18]
Ignaz
Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh
ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena
kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan
metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan,
karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik
pada matan. Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek
seperti politik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa
pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan
juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi
Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya
berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid
al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul
Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir
apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan
dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang
melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya,
Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi
ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds
(Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.[19]
Dalam
rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin
Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang
bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan
pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan
Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena
ia merupakan bikinan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw,
meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari
yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui sebagai kitab
yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu
sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk
meruntuhkan kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari
yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai
sekarang. [20]
Pemikiran
Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat luas terhadap sleuruh
kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan
orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya
Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan meragukan
beberapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud
Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga
banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian
juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan
lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
b. Joseph Schacht
Orientalis
berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct,
secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis
banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni
Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan
otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian
besar adalah palsu.[21]
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad
mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua,
tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi
Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam
enam poin:[22]
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad
itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang
ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada
sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad
secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu
tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa
koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber
tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab
penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke
belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu,
dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam
rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis
Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya
adalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat
penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut
hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis
pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang
berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang
sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah
Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah
teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana
(ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah
hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana
(ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya
menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah
ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan
kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga
dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak
cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan
sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu
pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni
sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang
terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah
riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak
dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan
dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat.
Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan
untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi
lainnya.
Paling
tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht
yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits
Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas sanad hadits yang
terakumulasi dalam teori Projecting back, yang berkaitan juga
dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut, kalau kita lihat
secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya saja karena dia
seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini nampaknya
tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya tentang hukum.[23]
c. Jyunboll
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna,
Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu
tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam
bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut
muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya
”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak
anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan
isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah
bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada
banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…” Jyunboll
menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu
hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu
setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah
adalah merupakan tokoh yang sering mengenyampingkan hadis. [24]
Oleh
karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal
tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para
pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah
ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.[25]
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.[25]
Common
link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang
mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang,
lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya
kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari
muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang
disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu
murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar
untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.[26]
Kesimpulannya,
teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan
yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula
jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya,
jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur
periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang
bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya
secara mutlak kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link
ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan
Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi
penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford
adalah salah katu karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah,
Juynboll (pakar sejarah Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi
lebih lanjut terhadap teori common link.
Terlepas
dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah menghadirkan
nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab, dengan menggunakan
metode common link Juynboll ini, kita dapat melacak dan
menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits tersebut
disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common link
juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana yang sangat
radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi setiap orang
yang membacanya.
D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat
Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada
masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh bebrapa pakar hadits.
Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa
Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as
Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in
Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher
lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.[27]
Alasan
mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada
bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru
mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan
hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku fiqh.[28]
Sisi
metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang
tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang
berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah
hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari
47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal
dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang
relevan dengan topik yang didiskusikan.[29]
Berkenaan
dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada
bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru
sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi
al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga
ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin
marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah
palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah
bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn
Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak
rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat
untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang
abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada
akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada
argumen-argumen yang tidak ilmiah.[30]
Argumen
lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu
sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis
tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa
ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya
isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar
mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati
lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu
dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi
sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan
argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam
mengkaji hadis juga bertumpu pada matan.[31]
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya.
Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika
menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar
postulat /asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan
al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan
sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab
kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh
karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan
berpedoman pada kitab-kitab hadis.[32]
Azami
dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian
terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih,
suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis
bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya
Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi
dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu
terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i,
kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan
Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid
menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher
sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum
mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum,
kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul
Nabi, Shahabat dan tabi’in.[33]
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar
karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada
sejumlah hadis dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam
koleksi-koleksi hadis belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat
dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio.
Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan
adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan
mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih
tertentu tanpa mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan
para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan
untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan
diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh
karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai
doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak
selalu menyebutkan hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum
yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.[34]
Di
samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa
kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi,
disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia
tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht
terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata
ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika
diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian
untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain,
khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya
sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis
Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah
naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail)
adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49
Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi
Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk
jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang
ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili
mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko,
antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back,
yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan
merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu
hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh
Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai
kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di
atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang
bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau
ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan
umat Islam.
3. Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link
banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang
ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat
satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui
ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada
alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli
hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.[35]
Pada
tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat
secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi
seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link.
Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga
tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
KESIMPULAN
Bagaimanapun
kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh
kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi hadis
tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan
hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan
adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan
tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di samping itu,
dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah
mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan
menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis
sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam
perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi orang non
islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian
mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan
nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena
merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi
nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari
kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang
dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus
diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga
objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh
kalangan akademis.
Sehingga
sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam memandang
kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni
kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai
sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme
tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward
Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih
merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang
manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah
menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3)
Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes
(kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun
harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran
Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah
lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam
penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan
sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak
melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara
membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam
mengkaji dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
REFERENSI
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt..
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Khoirul
Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet
website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits
Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”,
dalam internet
website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
[2] Ibid.,
[3] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155.
[4] Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443.
[5] Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, hal. 408.
[6] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51.
[7] M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 548.
[8] Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[9] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54.
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[13] Ibid.,
[14] .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits
Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
[15] Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 88.
[16] Khoirul
Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet
website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
[17] Wahyudin,.....hal. 88.
[18] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist...
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid.,
[22] M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233.
[23] Wahyudin, Hadits di mata Orientalis.......hal. 108-109.
[24] Khoirul Asfiyak, Otentisitas hadits di mata Orientalist…
[25] Ibid.,
[26] .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits
Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits
Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
[27] Khoirul Asfiyak,……
[28] Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”,
dalam internet
website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
[29] Ibid.,
[30] Ibid.,
[31] Ibid.,
[32] Ibid.,
[33] Ibid.,
[34] Ibid.,
[35] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar