ASSALAMU'ALAIKUM

Sabtu, 19 Oktober 2013

Urgensi Pendekatan Budaya dalam Pemahaman Alquran

I. Pendahuluan
Alquran diturunkan secara faktual dalam dimensi ruang dan waktu yang berlatar belakang kehidupan bangsa Arab di abad ke-7 M. Sebagai petunjuk [hudâ], tekstualitas Alquran menjadi respon sekaligus solusi bagi kompleksitas tradisi dan permasalahan masyarakat Arab di zaman itu yang masih relatif sederhana dalam pola pikir dan teknologi. Adapun secara kontekstual, Alquran jelas ditujukan bagi segenap disparitas ruang dan waktu umat manusia, terlepas dari apapun kondisi geografis dan sosiologis-kultural yang mengitarinya.
Keterikatan Alquran dengan aspek sosio-kultural dalam sejarah kehidupan manusia merupakan fenomena yang sangat unik. Sebagai sebuah wahyu, pada hakikatnya sudah pasti Alquran menjadi sakral dan transendental, tidak terjamah oleh segala bentuk pengaruh kesejarahan. Namun, secara faktual dibuktikan dalam sejarah betapa Alquran selama proses pewahyuannya telah melakukan dialog dan dialektika dengan kebudayaan manusia. Kita mengenal konsep naskh, makkî-madanî, asbâb al-nuzûl, dan sebagainya yang mengartikulasikan wujud dialektika itu. Di samping menolak dan memberi alternatif, Alquran juga telah menunjukkan dinamisasinya dalam menyerap, menginternalisasi, dan merekonstruksi begitu banyak konsep-konsep kebudayaan yang dikenal kala itu.
Adanya fenomena ini tentu memberi tempat bagi pengaruh unsur-unsur budaya lokal Arab – sebagai realitas pertama – dalam terbentuknya tekstualitas Alquran, di samping pengaruh nyata kitab suci ini dalam membentuk kebudayaan manusia sejati pada realitas kedua. Aspek lokalitas ini pada gilirannya juga menjadi persoalan krusial bagi umat Islam setelah ditinggalkan oleh pembawa sekaligus mufasir Alquran yang paling otoritatif, yakni Nabi Muhammad saw. Hal ini terlebih disebabkan oleh semakin meluasnya Islam, yang berarti bertambahnya problematika sosial dan budaya yang dihadapi umat.
Uraian berikut menganalisis perlunya sebuah pemahaman Alquran yang apresiatif terhadap perbedaan ruang dan waktu, faktor-faktor alam, kenyataan sosial, iklim politik, dan tradisi budaya yang mengitari umat Islam di sepanjang sejarah dan lokalitas geografisnya. Masing-masing ruang apresiasi itu berakumulasi dan selanjutnya mengartikulasikan pemahaman kontekstual Alquran yang sepanjang sejarahnya selalu dipercaya paling adil terhadap kitab suci itu.
II. Alquran dan Budaya: Sejarah Klasik
Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya Alquran adalah sebuah konsep sederhana yang juga dipahami secara sederhana oleh kaum muslim. Ia adalah kalam [firman] yang baik bahasa dan bentuknya maupun kandungan maknanya secara murni dan simultan diturunkan dari hadirat Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. (Isma’il R. al-Faruqi, 1998: 138).
Secara terfokus, di zaman permulaan Islam Alquran lebih tampak sebagai korpus verbal yang ditransmisikan melalui beberapa ragam cara baca [qirâ’ah] dan cara tulis [rasm]. Sebelum dituangkan ke dalam tulisan, ia merupakan pernyataan lisan; dan hingga sekarang tetap mempertahankan bentuk liturgi lisannya seperti terartikulasi dalam ibadah kunci Islam, yakni ritual shalat, di mana tanpa membaca sebagian dari Alquran maka shalat seseorang dianggap tidak sah . Kompilasi Alquran ke dalam mushaf standar Utsmanî adalah contoh paling populer bagi fenomena ini, di mana kendati bentuknya tertulis namun mushaf itu sangat berkarakter oral, dalam arti ia mencerminkan luasnya ruang keragaman bagi berbagai cara bacaan dan tulisan yang sama-sama diterima dari Nabi Muhammad saw. Bahkan, pengiriman salinan mushaf Utsmanî ke daerah-daerah tampaknya sebagai instrumen pendukung belaka dari kenyataan yang lebih penting dari itu, yakni diutusnya seorang qâri yang bertugas mengajarkan Alquran secara langsung dan verbal pada masing-masing daerah. Semua ini menunjukkan bahwa aspek verbal lebih menandai karakter Alquran yang paling utama dibandingkan aspek visualnya.
Pada penggalan akhir abad ke-2 H/8 M, konsep Alquran mulai dipersoalkan oleh kelompok Mu’tazilah dengan doktrin terkenalnya: Alquran diciptakan [makhluk]. Logikanya cukup sederhana, yaitu apabila Alquran tidak makhluk berarti ia merupakan Tuhan itu sendiri, sedangkan zat Tuhan mustahil dibagi-bagi atau terdiri atas komponen-komponen. Sungguh pun doktrin ini memicu reaksi keras dari arus utama umat Islam, namun posisi politik Mu’tazilah yang sedang di atas angin menjadikan mereka lebih berpeluang untuk melakukan indoktrinasi secara lebih leluasa. Tantangan yang dipelopori oleh kelompok Hanâbilah tidak membuat Mu’tazilah surut dengan doktrin ini, bahkan melalui dukungan penguasa politik, mereka melakukan mihnah [inkuisi] agar semua umat Islam mengakui kemakhlukan Alquran (Umar Hasyim, 1982: 42-44).
Jika menyimak fenomena Mu’tazilah, tercermin dialektika Alquran dengan budaya yang kurang proporsional, di mana dalam kasus ini Alquran direduksi hanya sebatas teks profan yang nota bene merupakan produk budaya Arab abad ke-7 M. Secara politis, diktum ‘Alquran diciptakan’ merupakan justifikasi yang sangat kuat bagi upaya-upaya tafsir politik yang melegitimasi setiap kehendak para penguasa, karena dalam posisinya sebagai makhluk, Alquran tidaklah berbeda dari segala jenis makhluk lain di alam ini yang rentan perubahan dan kebinasaan [fanâ’]. Akan tetapi, Mu’tazilah memiliki alasan tersendiri tentang doktrin ini dengan cara pandang mereka yang khas rasionalis, seperti doktrin kemahaesaan Tuhan.
Para ulama belakangan baik langsung maupun tidak berusaha melakukan diferensiasi antara Alquran sebagai teks dengan statusnya sebagai firman Tuhan. Ulama spesialis ushûl al-fiqh, misalnya, menetapkan bahwa Alquran adalah nama bagi keseluruhan Alquran dan nama bagi setiap suku atau bagian daripadanya. Sementara ulama spesialis ilmu kalam merujuk Alquran sebagai kalam azali yang berdiri pada dzat Allah swt yang senantiasa bergerak [tidak pernah diam] dan tidak pernah ditimpa sesuatu bencana (M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1994: 2).
Pada dasarnya, dialektika Alquran dengan budaya bersifat proporsional, dalam arti teknis bahwa ada bagian-bagian yang saling menyokong atau saling menutupi keterbatasan masing-masing. Alquran memiliki aspek yang terbuka terhadap fenomena dan gerak realitas budaya manusia, serta selalu mengondisikan diri dengannya, seperti ditunjukkan oleh proses pewahyuannya yang mengambil setting sosial-budaya Arab abad ke-7 M. Dalam bahasa yang lebih spesifik, ayat-ayat Alquran diturunkan bukan dalam ruang hampa sejarah, melainkan memiliki latar belakang yang menggambarkan turunnya suatu ayat, seperti adanya peristiwa tertentu yang dihadapi Nabi saw. Oleh karenanya, ayat-ayat itu seolah-olah ikut memecahkan persoalan kasuistik pada masanya, atau minimal memberikan pedoman dan ketetapan bagaimana hukumnya salah satu persoalan di masa pewahyuan tersebut.
Di sini, pengaruh budaya lokal dalam pewahyuan Alquran merupakan bentuk interaksi dan dialektika wahyu dengan realitas yang mengada di zaman itu. Dalam ungkapan teologis, karena wahyu ditujukan sebagai pedoman dan solusi kehidupan, secara pasti gerak realitas yang direspon akan turut mewarnai perwujudannya dalam teks dimaksud. Pengaruh lokalitas yang mewarnai karakter kultural teks ini, jika dilihat secara general, terdiri atas perwujudan teks Alquran dalam bahasa Arab [qur’ânan ‘arabiyyan], penurunannya secara bertahap dan berangsur-angsur [tadarruj], serta tergambarnya realitas kebudayaan pada sistem kognisi bangsa Arab di abad ke-7 M di dalam materi dan struktur teks. Adapun secara spesifik, perwujudan pengaruh tersebut dapat dicandra pada terserapnya tradisi budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan Arab Jahiliyah [mutammimat makârim al-akhlâq], gerak kronologis sejarah dari periode Mekkah ke periode Madinah [makkî wa madani], serta tahapan kondisi antropologis penerimaan bangsa Arab terhadap Alquran dan kenabian Muhammad saw.
Semua implikasi pengaruh lokalitas ini dapat disimak dalam teks Alquran yang sarat makna baik secara material maupun struktural. Sebagai ilustrasi, Fazlur Rahman (1992: 46) menggambarkan perkembangan karakter surat-surat Alquran secara kronologis, bahwa surat-surat Makkiyyah yang turun lebih dahulu pada mulanya sangat pendek namun berisi beban dengan tonggak psikologi yang luar biasa dalam dan kuatnya, serta mengeluarkan letupan-letupan dahsyat laksana gunung berapi. Secara berangsur-angsur, surat-surat yang turun belakangan kemudian menjadi semakin panjang dan meretas jalan ke arah gaya isi ajaran yang lebih lancar dan mudah dipahami pada tataran praktis, sehingga berujung pada surat-surat Madaniyyah yang cukup panjang dengan aturan-aturannya yang semakin detil. Secara sosial, surat-surat Madaniyyah ini menjadi landasan moral dan normatif sekaligus bagi kelahiran kultur dan struktur masyarakat Islam.
Sebalik dari itu, budaya juga memiliki wilayah-wilayah yang berbeda dalam menerima tektualitas Alquran. Hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang distingsi ruang dan waktu, di mana fungsi responsibilitas Alquran lebih bersifat tekstual bagi umat manusia di tanah Arab abad ke-7 M. dan lebih kontekstual bagi mereka yang hidup di luar geografi Arab pada abad-abad yang lebih belakangan. Ada tempatnya di mana Alquran melakukan semacam kultusigrafi kehidupan yang ideal menurut optik Islam. Sebagai contoh, Alquran dalam periode Madinah telah sedemikian banyak ikut campur dalam mengatur sistem kewarisan dalam budaya Arab kala itu, sehingga proporsi aturan-aturan hukumnya jauh lebih besar dari aturan-aturan ritual sekalipun seperti shalat dan puasa. Akan tetapi, ketetapan sistem kewarisan Alquran tidaklah statis dan tidak mengenal kompromi atas berbagai perbedaan sejarah, geografi dan ruang budaya umat manusia, sehingga tidak sedikit pertimbangan-pertimbangan lokal dapat diadopsi dalam keluasan sistem kewarisan itu, seperti yang dapat dicandra dari konsep gono gini atau parpantangan dalam pembagian warisan, atau kebolehan keluarga non muslim menerima wasiat wajibah dari mayit muslim. Hal ini adalah penjabaran belaka dari satu elan dasar Alquran yang menghendaki adanya persamaan esensial manusia yang secara khusus dan tersurat berupa terangkatnya status wanita dalam sistem kewarisan Arab di zaman pewahyuan.
Pada beberapa tempat yang lain, Alquran membiarkan berbagai item budaya tetap eksis, meskipun sebagiannya diberikan sentuhan nilai-nilai universalitas dan humanitas Islam, seperti yang diungkapkan dalam istilah al-ushûl al-khamsah, yakni jaminan Islam atas hak hidup, beragama, berketurunan, kehormatan, dan ekonomi. Inilah misalnya yang terjadi pada tradisi musyawarah, bahwa secara kultural Alquran mempertahankan produk budaya masyarakat Arab Quraisy di masa jahiliyah yang terartikulasi dalam lembaga Dâr al-Nadwah, namun etika musyawarah diatur sesuai ajaran Islam.
Sementara itu, kasus jilbab merepresentasikan motif yang sedikit berbeda, karena Alquran tidak saja mempertahankan item budaya jilbab bersangkutan, tetapi dalam batas-batas tertentu juga mempertahankan artikulasi simboliknya. Hal senada juga terjadi dalam kasus bentuk-bentuk hukuman peradilan seperti qishâsh [eksekusi] yang dapat diganti dengan membayar diyât [tebusan].
Adapun kasus riba menunjukkan proses legislasi Alquran yang graduatif dalam rangkaian dekulturisasi aktivitas-aktivitas tercela pada masyarakat muslim, di mana kendati pernyataan-pernyataan tentang riba sudah dikeluarkan oleh Alquran pada periode Mekkah, ia tidaklah dilarang secara hukum sampai Nabi saw berada di Madinah beberapa waktu lamanya; sama halnya dengan pernyataan-pernyataan aksentuatif tentang perbaikan kondisi kaum miskin yang diberikan sejak awal mula Islam, tetapi hukum-hukum dalam bidang ini – termasuk masalah hukum zakat – belumlah dinyatakan sampai Nabi saw sendiri bermukim di Madinah (Fazlur Rahman, 1995: 17).
Semua yang disebutkan di atas merupakan instrumen penting bagi hajat utama untuk memahami Alquran secara kontekstual dengan maksimalisasi pendekatan budaya. Tindakan memahami tidak selalu berarti menafsirkan, karena ia merupakan aktivitas umum manusia dalam segala level kapasitas dan kualitas moral-religiusnya di hadapan Alquran. Setiap orang yang ingin mengambil manfaat dari kitab suci itu, lalu ia berusaha membaca dan mencerna isinya, berarti ia telah berada dalam tindakan memahami Alquran.
III. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 916), teks adalah kata benda yang memiliki tiga makna: (1) naskah yang berupa; (2) kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan; dan (3) bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya. Sungguh pun terdapat nuansa aksentuatif antara tiga makna di atas, namun Alquran sebagai teks tentunya dapat dipahami dalam ketiga maknanya sekaligus.
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 458) juga mengartikan konteks sebagai: (1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; dan (2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Berdasarkan pengertian ini, kita memahami bahwa di antara teks dengan konteks terdapat ruang perbedaan yang cenderung bersifat diametral.
Sebagai konsep yang dualistik, istilah teks memang antonim kata konteks. Apabila teks merujuk kepada aspek yang artikulatif baik secara lisan dan terutama tulisan, tentunya konteks adalah kebalikan dari itu. Jika teks dapat dipahami langsung apa adanya maka konteks barulah diperoleh setelah adanya analisis. Bahkan, kalau teks cenderung hanya bersifat satu segi [wajh] maka konteks lebih menunjukkan segi yang banyak [wujûh]. Di dalam tradisi ilmu-ilmu Alquran, kita mengenal beberapa pasang konsep yang sedikit banyak dapat menjelaskan dualitas teks-konteks ini. Di antaranya adalah mantûq-mafhûm [yang tersurat-yang tersirat], muthlaq-muqayyad [yang bebas-yang terikat], mujmal-mubayyan [yang global-yang detil], dan muhkam-mutasyâbih [yang jelas-yang samar].
Apa yang dapat dicandra dari fenomena di atas adalah bahwa pembacaan Alquran, dalam arti upaya memahaminya, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kemampuan seseorang dalam memahami kapasitas teks dan konteks yang dikandung oleh kitab suci itu, di mana ia akan memberikan proporsi yang jauh lebih besar bagi pemahaman yang apresiatif terhadap konteks.
Pemahaman kontekstual adalah produktif, dan sebaliknya pemahaman tekstual adalah kontra produktif. Sebab bagaimanapun, keterjebakan di dalam pemahaman tekstual akan mendistorsi fungsi Alquran yang paling utama, yakni sebagai pedoman hidup [hudâ] bagi umat manusia. Hal ini lumrah ditemukan dalam kasus-kasus hukum yang ditetapkan Alquran, seperti yang menyangkut masalah perbudakan, di mana pranata ini ‘terpaksa’ diatur selama ia masih belum bisa dikikis habis dari muka bumi demi mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan implikatif yang jauh lebih besar, sementara Islam sama sekali tidak bertujuan mempertahankan pranata perbudakan tersebut
IV. Ke Arah Pemahaman Kontekstual
Secara historis, pemahaman Alquran yang kontekstual sebenarnya sudah dipraktekkan sejak masa-masa awal Islam di abad ke-1 H. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb ra, misalnya, adalah tokoh sahabat yang tampak paling terkenal dengan ijtihad-ijtihad spektakulernya sebagai akibat dari tuntutan masalah dan keadaan yang sudah berbeda dari zaman Rasulullah saw. Tidak mengherankan bahwa beliau merupakan pelopor dalam tindakan bid’ah hasanah demi kemaslahatan agama dan kehidupan secara umum.
Begitu pula, terobosan-terobosan lain yang dilakukan oleh para mujtahid di masa-masa yang lebih belakangan. Seorang ulama Alquran legendaris, Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthî (w 911 H), bahkan telah menggariskan 15 syarat keilmuan yang mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menafsirkan Alquran, di mana sebagian besarnya merupakan prakondisi, atau bahkan konsekuensi bagi pemahaman yang kontekstual. Ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh calon mufassir tersebut adalah: (1) ilmu kosa kata; (2) ilmu nahwu atau tata bahasa Arab; (3) ilmu sharaf atau etimologi; (4) ilmu al-isytiqâq atau derivasi kata; (5) ilmu al-ma’ânî untuk mengetahui kekhususan suatu redaksi kalimat sehingga dapat dipahami segi maknanya yang tepat; (6) ilmu al-bayân untuk mengetahui kekhususan suatu redaksi kalimat ditinjau dari segi perbedaan maksudnya; (7) ilmu al-badî’ untuk mengetahui bagaimana cara memperindah susunan kalimat; (8) ilmu qirâ’ât; (9) ilmu ushûl al-dîn untuk mengetahui dalil-dalil pembuktian dari Alquran mengenai berbagai masalah yang wajib, mustahil, dan jâ’iz; (10) ilmu ushûl al-fiqh untuk mengetahui prosedur dan kaidah-kaidah pengambilan dalil-dalil hukum dan perumusannya; (11) ilmu asbâb al-nuzûl untuk mengetahui konteks, sasaran, dan maksud yang dikehendaki oleh ayat-ayat Alquran; (12) ilmu nâsikh wa mansûkh untuk mengetahui ayat-ayat yang muhkam daripada ayat-ayat lainnya; (13) ilmu fiqh untuk mengetahui kandungan hukum-hukum Alquran; (14) ilmu hadis untuk mendukung penafsiran ayat-ayat mujmal dan mubham; dan (15) ilmu mawhibah, yang dianugerahkan Allah swt. secara langsung kepada siapa saja yang mengamalkan ilmunya.
Hanya saja, disparitas ruang dan waktu serta problematika yang melingkupi umat kala itu cukup lebar dengan situasi sekarang, sehingga terdapat kesulitan besar bagi kita untuk mengukur dan menilai tradisi tersebut dengan optik situasional zamannya sendiri. Sementara memahami realitas luar dengan optik kita adalah tindakan yang sangat tidak adil, paling jauh yang bisa kita lakukan adalah menghubungkan sejumlah item yang memiliki kesamaan dan kemiripan pada tataran substansi antar kedua masa dan situasi. Inilah mengapa pada masa-masa terakhir, ketetapan klasik Imam al-Suyûthî tersebut dianggap masih kurang jika diterapkan ke zaman sekarang., karena belum mempertimbangkan aspek kekinian yang mempunyai karakter sejarah, sosial, dan budaya berbeda dengan umat-umat tempo dulu. Oleh karena itulah, pendekatan sosiologi, kultural,dan historis menjadi keniscayaan untuk dimiliki oleh mufasir kontemporer.
Sehubungan dengan itu, upaya refleksi dan perumusan kembali pesan-pesan Alquran untuk memenuhi tantangan dan hajat yang berbeda-beda di setiap masa, paling tidak pemahaman kontekstual yang diperlukan mencakup empat komponen berikut: (1) konteks literer Alquran; (2) konteks historis Alquran; (3) konteks kronologis Alquran; dan (4) konteks spasio-temporal dewasa ini (Taufik Adnan Amal, 2003: 152).
Konteks literer Alquran adalah konteks di mana suatu tema atau istilah tertentu muncul di dalam Alquran, mencakup ayat-ayat sebelum dan sesudah tema atau terma itu yang merupakan konteks langsungnya [munâsabah] serta rujukan silang kepada konteks-konteks relevan dalam surat-surat lain [maudhû’î]. Pada batas-batas tertentu, konteks literer juga mencakup penelusuran keragaman tradisi teks [rasm] dan bacaan Alquran [qirâ’ah] yang relevan dengan ayat-ayat yang dicobapahami untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.
Adapun konteks historis Alquran merupakan latar kesejarahan Alquran baik yang bersifat makro maupun mikro. Konteks historis makro adalah latar kesejarahan tidak langsung atau mileu yang berupa situasi masyarakat, agama, adat-istiadat, pranata-pranata, relasi-relasi politik, dan bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia sampai kepada kehidupan Nabi Muhammad saw sendiri, terutama Makkah dan Madinah menjelang dan pada saat pewahyuan Alquran. Sedangkan konteks historis mikro adalah latar kesejarahan langsung teks-teks spesifik Alquran yang direkam dalam apa-apa yang disebut mawâthin al-nuzûl [tempat-tempat turun], sya’n al-nuzûl [situasi turun] dan asbâb al-nuzûl [sebab-sebab turun] Alquran.
Sementara itu, konteks kronologis Alquran adalah sekuensi kronologis pewahyuan bagian-bagian Alquran tentang suatu tema atau istilah tertentu yang akan memperlihatkan bagaimana tema atau terma tersebut berkembang atau ditransformasikan dalam bentangan pewahyuan Alquran selama lebih kurang 23 tahun seirama dengan perkembangan misi kenabian Muhammad saw dan komunitas Muslim. Di dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân, aspek kronologis ini setidaknya telah dicakup oleh ilmu tawârikh al-nuzûl, ilmu al-makkî wa al-madanî dan ilmu al-naskh.
Sedangkan konteks spasio-temporal merupakan konteks ruang dan waktu yang menjadi lahan pengimplementasian gagasan-gagasan Alquran. Di sini, situasi kontemporer harus dianalisis secara cermat terkait berbagai unsur komponennya, sehingga dapat dinilai dan diubah sejauh diperlukan, serta dapat dideterminasi prioritas-prioritas baru untuk implementasi nilai-nilai Alquran secara segar dan bermakna.
Dengan mengadopsi pemahaman atas keempat item kontekstualitas Alquran di atas, sesungguhnya secara tidak langsung kita telah mendekati kitab suci Alquran secara budaya. Sebab, setiap item yang berperan sebagai konteks Alquran di atas tidak lain daripada sebuah lokus budaya yang penuh dinamika. Kita melihat paling tidak bahwa konteks literer Alquran berada di wilayah sastra dan kebahasaan; konteks historis Alquran berada di wilayah sosiologi, antropologi, dan geografi; konteks kronologis Alquran berada di wilayah sejarah dan arkeologi; konteks spasio-temporal dewasa ini tetap sangat bergantung pada kualitas kajian-kajian keilmuan, kemasyarakatan, dan kebudayaan dalam artinya yang lebih spesifik.
V. Penutup
Elan dasar Alquran – tentunya pada tataran horizontal – adalah penekanan pada keadilan sosial-ekonomi dan persamaan esensial manusia. Di dalam bahasa tasawuf, akumulasi akhlak yang diusung oleh Alquran itu tersimpul dalam dua ungkapan, yakni ‘pemurah’ dan ‘peramah’. Ini artinya, apapun legislasi dan aturan moral-spiritual yang digariskan oleh Alquran tidak akan keluar daripada kedua élan dasar tersebut. Karakter “pembebasan” yang dikandung oleh ayat-ayat dan surat-surat Makkiyyah tidaklah berbeda secara prinsipil dengan kandungan ayat-ayat dan surat-surat Madaniyyah, kendati jelas ditemukan materi dan struktur redaksionalnya yang berbeda tajam.
Masalah yang seringkali muncul sepanjang sejarah pembumian Alquran berupa terciptanya endapan-endapan pemahaman dan interpretasi – dalam bentuk dan motif apapun – yang menutupi élan dasar itu, memang berkonsekuensi pada kenyataan bahwa solusi-solusi yang dieksplorasi dari kandungan Alquran menjadi kering dan dangkal, tidak menyentuh semangat keadilan dan persamaan. Oleh karena itu, paling tidak, pendekatan budaya yang diadopsi dalam pemahaman kontekstual Alquran ini turut berperan dalam meminimalisasi kekeringan dan kedangkalan eksploratifnya.
Daftar Pustaka
dikutip dari : http://banjarhulu.wordpress.com/2012/04/25/urgensi-pendekatan-budaya-dalam-pemahaman-alquran/
Abdurrahman, Moeslim, Semarak Islam Semarak Demokrasi?, 1996, Jakarta, Pustaka Firdaus.
Amal, Taufik Adnan, “Dialektika Agama dan Pluralitas Budaya Lokal; Suatu Tawaran Pendekatan Kontekstual” dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, 2003, Surakarta, PSB PS UMS.
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, 1998, Bandung, Mizan.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, 1994, Jakarta, Bulan Bintang,
Hasyim, Umar, 1982, Apakah Anda termasuk Golongan Ahlus Sunnah Waljamaah?, Surabaya, Bina Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar